KLIK "OPEN" UNTUK MEMBACA CERITA BERIKUT BERDASARKAN JUDULNYA
Bagi yang ingin share cerita silahkan klik di sini atau melaui tab menu diatas
LESBIAN SANG PRAMUGARI
LISA, REMAJA LESBIAN
Bagi yang ingin share cerita silahkan klik di sini atau melaui tab menu diatas
LESBIAN SANG PRAMUGARI
Aku adalah mahasiswi disebuah universitas swasta di kota
Awal mula aku mengalami Making Love dengan seorang wanita yang mengubah orientasi seksualku menjadi seorang biseksual, aku mengalami percintaan sesama jenis ketika usiaku 20 tahun dengan seorang wanita berusia 45 tahun, entah mengapa semuanya terjadi begitu saja terjadi mungkin ada dorongan libidoku yang ikut menunjang semua itu dan semua ini telah kuceritakan dalam “Rahasiaku.”
Wanita itu adalah Ibu Kos-ku, ia bernama Tante Maria, suaminya seorang pedagang yang sering keluar kota. Dan akibat dari pengalaman bercinta dengannya aku mendapat pelayanan istimewa dari Ibu Kos-ku, tetapi aku tak ingin menjadi lesbian sejati, sehingga aku sering menolak bila diajak bercinta dengannya, walaupun Tante Maria sering merayuku tetapi aku dapat menolaknya dengan cara yang halus, dengan alasan ada laporan yang harus kukumpulkan besok, atau ada test esok hari sehingga aku harus konsentrasi belajar, semula aku ada niat untuk pindah kos tetapi Tante Maria memohon agar aku tidak pindah kos dengan syarat aku tidak diganggu lagi olehnya, dan ia pun setuju. Sehingga walaupun aku pernah bercinta dengannya seperti seorang suami istri tetapi aku tak ingin jatuh cinta kepadanya, kadang aku kasihan kepadanya bila ia sangat memerlukanku tetapi aku harus seolah tidak memperdulikannya. Kadang aku heran juga dengan sikapnya ketika suaminya pulang kerumah mereka seakan tidak akur, sehingga mereka berada pada kamar yang terpisah.
Hingga suatu hari ketika aku pulang malam hari setelah menonton bioskop dengan teman priaku, waktu itu jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, karena aku mempunyai kunci sendiri maka aku membuka pintu depan, suasana amat sepi lampu depan sudah padam, kulihat lampu menyala dari balik pintu kamar kos pramugari itu,
“Hmm.. ia sudah datang,” gumamku, aku langsung menuju kamarku yang letaknya bersebelahan dengan kamar pramugari itu. aku bersihkan wajahku dan berganti pakaian dengan baju piyamaku, lalu aku menuju ke pembaringan, tiba-tiba terdengar rintihan-rintihan yang aneh dari kamar sebelah. Aku jadi penasaran karena suara itu sempat membuatku takut, kucoba memberanikan diri untuk mengintip kamar sebelah karena kebetulan ada celah udara antara kamarku dengan kamar pramugari itu, walaupun ditutup triplek aku mencoba untuk melobanginya, kuambil meja agar aku dapat menjangkau lubang udara yang tertutup triplek itu.
Lalu pelan pelan kutusukan gunting tajam agar triplek itu berlobang, betapa terkejutnya aku ketika kulihat pemandangan di kamar sebelahku. Aku melihat Tante Maria menindih seorang wanita yang kelihatan lebih tinggi, berkulit putih, dan berambut panjang, mereka berdua dalam keadaan bugil, lampu kamarnya tidak dipadamkan sehingga aku dapat melihat jelas Tante Maria sedang berciuman bibir dengan wanita itu yang mungkin pramugari itu.
Ketika Tante Maria menciumi lehernya, aku dapat melihat wajah pramugari itu, dan ia sangat cantik wajahnya bersih dan mempunyai ciri khas seorang keturunan ningrat. Ternyata pramugari itu juga terkena rayuan Tante Maria, ia memang sangat mahir membuat wanita takluk kepadanya, dengan sangat hati-hati Tante Maria menjilati leher dan turun terus ke bawah. Bibir pramugari itu menganga dan mengeluarkan desahan-desahan birahi yang khas, wajahnya memerah dan matanya tertutup sayu menikmati kebuasan Tante Maria menikmati tubuhnya itu.
Tangan Tante Maria mulai memilin puting payudara pramugari itu, sementara bibirnya menggigit kecil puting payudara sebelahnya. Jantungku berdetak sangat kencang sekali menikmati adegan itu, belum pernah aku melihat adegan lesbianisme secara langsung, walaupun aku pernah merasakannya. Dan ini membuat libidiku naik tinggi sekali, aku tak tahan berdiri lama, kakiku gemetaran, lalu aku turun dari meja tempat aku berpijak, walau aku masih ingin menyaksikan adegan mereka berdua.
Dadaku masih bergemuru. Entah mengapa aku juga ingin mengalami seperti yang mereka lakukan. Kupegangi liang vaginaku, dan kuraba klitorisku, seiring erangan-erangan dari kamar sebelah aku bermasturbasi sendiri. Tangan kananku menjentik-jentikan klitorisku dan tangan kiriku memilin-milin payudaraku sendiri, kubayangkan Tante Maria mencumbuiku dan aku membayangkan juga wajah cantik pramugari itu menciumiku, dan tak terasa cairan membasahi tanganku, walaupun aku belum orgasme tapi tiba-tiba semua gelap dan ketika kubuka mataku, matahari pagi sudah bersinar sangat terang.
Aku mandi membersihkan diriku, karena tadi malam aku tidak sempat membersihkan diriku. Aku keluar kamar dan kulihat mereka berdua sedang bercanda di sofa. Ketika aku datang mereka berdua diam seolah kaget dengan kehadiranku. Tante Maria memperkenalkan pramugari itu kepadaku,
“Rus, kenalkan ini pramugari kamar sebelahmu.”
Kusorongkan tangan kepadanya untuk berjabat tangan dan ia membalasnya,
“Hai, cantik namaku Vera, namamu aku sudah tahu dari Ibu Kos, semoga kita dapat menjadi teman yang baik.”
Kulihat sinar matanya sangat agresif kepadaku, wajahnya memang sangat cantik, membuatku terpesona sekaligus iri kepadanya, ia memang sempurna. Aku menjawab dengan antusias juga,
“Hai, Kak, kamu juga cantik sekali, baru pulang tadi malam.”
Dan ia mengangguk kepala saja, aku tak tahu apa lagi yang diceritakan Tante Maria kepadanya tentang diriku, tapi aku tak peduli kami beranjak ke meja makan. Di meja makan sudah tersedia semua masakan yang dihidangkan oleh Tante Maria, kami bertiga makan bersama. Kurasakan ia sering melirikku walaupun aku juga sesekali meliriknya, entah mengapa dadaku bergetar ketika tatapanku beradu dengan tatapannya.
Tiba-tiba Tante Maria memecahkan kesunyian,
“Hari ini Tante harus menjenguk saudara Tante yang sakit, dan bila ada telpon untuk Tante atau dari suami Tante, tolong katakan Tante ke rumah Tante Diana.”
Kami berdua mengangguk tanda mengerti, dan selang beberapa menit kemudian Tante Maria pergi menuju rumah saudaranya. Dan tinggallah aku dan Vera sang pramugari itu, untuk memulai pembicaraan aku mengajukan pertanyaan kepadanya,
“Kak Vera, rupanya sudah kos lama disini.”
Dan Vera pun menjawab, “Yah, belum terlalu lama, baru setahun, tapi aku sering bepergian, asalku sendiri dari kota “Y”, aku kos disini hanya untuk beristirahat bila perusahaan mengharuskan aku untuk menunggu shift disini.”
Aku mengamati gaya bicaranya yang lemah lembut menunjukan ciri khas daerahnya, tubuhnya tinggi semampai. Dari percakapan kami, kutahu ia baru berumur 26 tahun. Tiba-tiba ia menanyakan hubunganku dengan Tante Maria. Aku sempat kaget tetapi kucoba menenangkan diriku bahwa Tante Maria sangat baik kepadaku. Tetapi rasa kagetku tidak berhenti disitu saja, karena Vera mengakui hubungannya dengan Tante Maria sudah merupakan hubungan percintaan.
Aku pura-pura kaget,
“Bagaimana mungkin kakak bercinta dengannya, apakah kakak seorang lesbian,” kataku.
Vera menjawab, “Entahlah, aku tak pernah berhasil dengan beberapa pria, aku sering dikhianati pria, untung aku berusaha kuat, dan ketika kos disini aku dapat merasakan kenyamanan dengan Tante Maria, walaupun Tante Maria bukan yang pertama bagiku, karena aku pertama kali bercinta dengan wanita yaitu dengan seniorku.”
Kini aku baru mengerti rahasianya, tetapi mengapa ia mau membocorkan rahasianya kepadaku aku masih belum mengerti, sehingga aku mencoba bertanya kepadanya,
“Mengapa kakak membocorkan rahasia kakak kepadaku.”
Dan Vera menjawab, “Karena aku mempercayaimu, aku ingin kau lebih dari seorang sahabat.”
Aku sedikit kaget walaupun aku tahu isyarat itu, aku tahu ia ingin tidur denganku, tetapi dengan Vera sangat berbeda karena aku juga ingin tidur dengannya. Aku tertunduk dan berpikir untuk menjawabnya, tetapi tiba-tiba tangan kanannya sudah menyentuh daguku.
Ia tersenyum sangat manis sekali, aku membalas senyumannya. Lalu bibirnya mendekat ke bibirku dan aku menunggu saat bibirnya menyentuhku, begitu bibirnya menyentuh bibirku aku rasakan hangat dan basah, aku membalasnya. Lidahnya menyapu bibirku yang sedkit kering, sementara bibirku juga merasakan hangatnya bibirnya. Lidahnya memasuki rongga mulutku dan kami seperti saling memakan satu sama lain. Sementara aku fokus kepada pagutan bibirku, kurasakan tangannya membuka paksa baju kaosku, bahkan ia merobek baju kaosku. Walau terkejut tapi kubiarkan ia melakukan semuanya, dan aku membalasnya kubuka baju dasternya. Ciuman bibir kami tertahan sebentar karena dasternya yang kubuka harus dibuka melewati wajahnya.
Kulihat Bra hitamnya menopang payudaranya yang lumayan besar, hampir seukuran denganku tetapi payudaranya lebih besar. Ketika ia mendongakkan kepalanya tanpa menunggu, aku cium leher jenjangnya yang sexy, sementara tanggannya melepas bra-ku seraya meremas-remas payudaraku. Aku sangat bernafsu saat itu aku ingin juga merasakan kedua puting payudaranya. Kulucuti Bra hitamnya dan tersembul putingnya merah muda tampak menegang, dengan cepat kukulum putingnya yang segar itu. Kudengar ia melenguh kencang seperti seekor sapi, tapi lenguhan itu sangat indah kudengar. Kunikmati lekuk-lekuk tubuhnya, baru kurasakan saat ini seperti seorang pria, dan aku mulai tak dapat menahan diriku lalu kurebahkan Vera di sofa itu. Kujilati semua bagian tubuhnya, kulepas celana dalamnya dan lidahku mulai memainkan perannya seperti yang diajarkan Tante Maria kepadaku. Entah karena nafsuku yang menggebu sehingga aku tidak jijik untuk menjilati semua bagian analnya. Sementara tubuh Vera menegang dan Vera menjambak rambutku, ia seperti menahan kekuatan dasyat yang melingkupinya.
Ketika sedang asyik kurasakan tubuh Vera, tiba-tiba pintu depan berderit terbuka. Spontan kami berdua mengalihkan pandangan ke kamar tamu, dan Tante Maria sudah berdiri di depan pintu. Aku agak kaget tetapi matanya terbelalak melihat kami berdua berbugil. Dijatuhkannya barang bawaannya dan tanpa basa-basi ia membuka semua baju yang dikenakannya, lalu menghampiri Vera yang terbaring disofa. Diciuminya bibirnya, lalu dijilatinya leher Vera secara membabi buta, dan tanggannya yang satu mencoba meraihku. Aku tahu maksud Tante Maria, kudekatkan wajahku kepadanya, tiba-tiba wajahnya beralih ke wajahku dan bibirnya menciumi bibirku. aku membalasnya, dan Vera mencoba berdiri kurasakan payudaraku dikulum oleh lidah Vera. Aku benar-benar merasakan sensasi yang luar biasa kami bercinta bertiga. Untung waktu itu hujan mulai datang sehingga lingkungan mulai berubah menjadi dingin, dan keadaan mulai temaram. Vera kini melampiaskan nafsunya menjarah dan menikmati tubuhku, sementara aku berciuman dengan Tante Maria. Vera menghisap klitorisku, aku tak tahu perasaan apa pada saat itu. Setelah mulut Tante Maria meluncur ke leherku aku berteriak keras seakan tak peduli ada yang mendengar suaraku. Aku sangat tergetar secara jiwa dan raga oleh kenikmatan sensasi saat itu.
Kini giliranku yang dibaringkan di sofa, dan Vera masih meng-oral klitorisku, sementara Tante Maria memutar-mutarkan lidahnya di payudaraku. Akupun menjilati payudara Tante Maria yang sedikit kusut di makan usia, kurasakan lidah-lidah mereka mulai menuruni tubuhku. Lidah Vera menjelejah pahaku dan lidah Tante Maria mulai menjelajah bagian sensitifku. Pahaku dibuka lebar oleh Vera, sementara Tante Maria mengulangi apa yang telah dilakukan Vera tadi, dan kini Vera berdiri dan kulihat ia menikmati tubuh Tante Maria. Dijilatinya punggung Tante Maria yang menindihku dengan posisi 69, dan Vera menelusuri tubuh Tante Maria. Tetapi kemudian ia menatapku dan dalam keadaan setengah terbuai oleh kenikmatan lidah Tante Maria. Vera menciumi bibirku dan aku membalasnya juga, hingga tak terasa kami berjatuhan dilantai yang dingin. Aku sangat lelah sekali dikeroyok oleh mereka berdua, sehingga aku mulai pasif. Tetapi mereka masih sangat agresif sekali, seperti tidak kehabisan akal Vera mengangkatku dan mendudukan tubuhku di kedua pahanya, aku hanya pasrah. Sementara dari belakang Tante Maria menciumi leherku yang berkeringat, dan Vera dalam posisi berhadapan denganku, ia menikmatiku, menjilati leherku, dan mengulum payudaraku. Sementara tangan mereka berdua menggerayangi seluruh tubuhku, sedangkan tanganku kulingkarkan kebelakang untuk menjangkau rambut Tante Maria yang menciumi tengkuk dan seluruh punggungku.
Entah berapa banyak rintihan dan erangan yang keluar dari mulutku, tetapi seakan mereka makin buas melahap diriku. Akhirnya aku menyerah kalah aku tak kuat lagi menahan segalanya aku jatuh tertidur, tetapi sebelum aku jatuh tertidur kudengar lirih mereka masih saling menghamburkan gairahnya. Saat aku terbangun adalah ketika kudengar dentang bel jam berbunyi dua kali, ternyata sudah jam dua malam hari. Masih kurasakan dinginnya lantai dan hangatnya kedua tubuh wanita yang tertidur disampingku. Aku mencoba untuk duduk, kulihat sekelilingku sangat gelap karena tidak ada yang menyalakan lampu, dan kucoba berdiri untuk menyalakan semua lampu. Kulihat baju berserakan dimana-mana, dan tubuh telanjang dua wanita masih terbuai lemas dan tak berdaya. Kuambilkan selimut untuk mereka berdua dan aku sendiri melanjutkan tidurku di lantai bersama mereka. Kulihat wajah cantik Vera, dan wajah anggun Tante Maria, dan aku peluk mereka berdua hingga sinar matahari datang menyelinap di kamar itu.
Pagi datang dan aku harus kembali pergi kuliah, tetapi ketika mandi seseorang mengetuk pintu kamar mandi dan ketika kubuka ternyata Vera dan Tante Maria. Mereka masuk dan di dalam kamar mandi kami melakukan lagi pesta seks ala lesbi. Kini Vera yang dijadikan pusat eksplotasi, seperti biasanya Tante Maria menggarap dari belakang dan aku menggarap Vera dari depan. Semua dilakukan dalam posisi berdiri. Tubuh Vera yang tinggi semampai membuat aku tak lama-lama untuk berciuman dengannya aku lebih memfokuskan untuk melahap buah dadanya yang besar itu. Sementara tangan Tante Maria membelai-belai daerah sensitif Vera. Dan tanganku menikmati lekuk tubuh Vera yang memang sangat aduhai. Percintaan kami dikamar mandi dilanjutkan di ranjang suami Tante Maria yang memang berukuran besar, sehingga kami bertiga bebas untuk berguling, dan melakukan semua kepuasan yang ingin kami rengkuh. Hingga pada hari itu aku benar-benar membolos masuk kuliah.
Hari-hari berlalu dan kami bertiga melakukan secara berganti-ganti. Ketika Vera belum bertugas aku lebih banyak bercinta dengan Vera, tetapi setelah seminggu Vera kembali bertugas ada ketakutan kehilangan akan dia. Mungkin aku sudah jatuh cinta dengan Vera, dan ia pun merasa begitu. Malam sebelum Vera bertugas aku dan Vera menyewa kamar hotel berbintang dan kami melampiaskan perasaan kami dan benar-benar tanpa nafsu. Aku dan Vera telah menjadi kekasih sesama jenis. Malam itu seperti malam pertama bagiku dan bagi Vera, tanpa ada gangguan dari Tante Maria. Kami bercinta seperti perkelahian macan yang lapar akan kasih sayang, dan setelah malam itu Vera bertugas di perusahaan maskapai penerbangannya ke bangkok.
Entah mengapa kepergiannya ke bandara sempat membuatku menitikan air mata, dan mungkin aku telah menjadi lesbian. Karena Vera membuat hatiku dipenuhi kerinduan akan dirinya, dan aku masih menunggu Vera di kos Tante Maria. Walaupun aku selalu menolak untuk bercinta dengan Tante Maria, tetapi saat pembayaran kos, Tante Maria tak ingin dibayar dengan uang tetapi dengan kehangatan tubuhku di ranjang. Sehingga setiap satu bulan sekali aku melayaninya dengan senang hati walaupun kini aku mulai melirik wanita lainnya, dan untuk pengalamanku selanjutnya kuceritakan dalam kesempatan yang lain
Awal mula aku mengalami Making Love dengan seorang wanita yang mengubah orientasi seksualku menjadi seorang biseksual, aku mengalami percintaan sesama jenis ketika usiaku 20 tahun dengan seorang wanita berusia 45 tahun, entah mengapa semuanya terjadi begitu saja terjadi mungkin ada dorongan libidoku yang ikut menunjang semua itu dan semua ini telah kuceritakan dalam “Rahasiaku.”
Wanita itu adalah Ibu Kos-ku, ia bernama Tante Maria, suaminya seorang pedagang yang sering keluar kota. Dan akibat dari pengalaman bercinta dengannya aku mendapat pelayanan istimewa dari Ibu Kos-ku, tetapi aku tak ingin menjadi lesbian sejati, sehingga aku sering menolak bila diajak bercinta dengannya, walaupun Tante Maria sering merayuku tetapi aku dapat menolaknya dengan cara yang halus, dengan alasan ada laporan yang harus kukumpulkan besok, atau ada test esok hari sehingga aku harus konsentrasi belajar, semula aku ada niat untuk pindah kos tetapi Tante Maria memohon agar aku tidak pindah kos dengan syarat aku tidak diganggu lagi olehnya, dan ia pun setuju. Sehingga walaupun aku pernah bercinta dengannya seperti seorang suami istri tetapi aku tak ingin jatuh cinta kepadanya, kadang aku kasihan kepadanya bila ia sangat memerlukanku tetapi aku harus seolah tidak memperdulikannya. Kadang aku heran juga dengan sikapnya ketika suaminya pulang kerumah mereka seakan tidak akur, sehingga mereka berada pada kamar yang terpisah.
Hingga suatu hari ketika aku pulang malam hari setelah menonton bioskop dengan teman priaku, waktu itu jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, karena aku mempunyai kunci sendiri maka aku membuka pintu depan, suasana amat sepi lampu depan sudah padam, kulihat lampu menyala dari balik pintu kamar kos pramugari itu,
“Hmm.. ia sudah datang,” gumamku, aku langsung menuju kamarku yang letaknya bersebelahan dengan kamar pramugari itu. aku bersihkan wajahku dan berganti pakaian dengan baju piyamaku, lalu aku menuju ke pembaringan, tiba-tiba terdengar rintihan-rintihan yang aneh dari kamar sebelah. Aku jadi penasaran karena suara itu sempat membuatku takut, kucoba memberanikan diri untuk mengintip kamar sebelah karena kebetulan ada celah udara antara kamarku dengan kamar pramugari itu, walaupun ditutup triplek aku mencoba untuk melobanginya, kuambil meja agar aku dapat menjangkau lubang udara yang tertutup triplek itu.
Lalu pelan pelan kutusukan gunting tajam agar triplek itu berlobang, betapa terkejutnya aku ketika kulihat pemandangan di kamar sebelahku. Aku melihat Tante Maria menindih seorang wanita yang kelihatan lebih tinggi, berkulit putih, dan berambut panjang, mereka berdua dalam keadaan bugil, lampu kamarnya tidak dipadamkan sehingga aku dapat melihat jelas Tante Maria sedang berciuman bibir dengan wanita itu yang mungkin pramugari itu.
Ketika Tante Maria menciumi lehernya, aku dapat melihat wajah pramugari itu, dan ia sangat cantik wajahnya bersih dan mempunyai ciri khas seorang keturunan ningrat. Ternyata pramugari itu juga terkena rayuan Tante Maria, ia memang sangat mahir membuat wanita takluk kepadanya, dengan sangat hati-hati Tante Maria menjilati leher dan turun terus ke bawah. Bibir pramugari itu menganga dan mengeluarkan desahan-desahan birahi yang khas, wajahnya memerah dan matanya tertutup sayu menikmati kebuasan Tante Maria menikmati tubuhnya itu.
Tangan Tante Maria mulai memilin puting payudara pramugari itu, sementara bibirnya menggigit kecil puting payudara sebelahnya. Jantungku berdetak sangat kencang sekali menikmati adegan itu, belum pernah aku melihat adegan lesbianisme secara langsung, walaupun aku pernah merasakannya. Dan ini membuat libidiku naik tinggi sekali, aku tak tahan berdiri lama, kakiku gemetaran, lalu aku turun dari meja tempat aku berpijak, walau aku masih ingin menyaksikan adegan mereka berdua.
Dadaku masih bergemuru. Entah mengapa aku juga ingin mengalami seperti yang mereka lakukan. Kupegangi liang vaginaku, dan kuraba klitorisku, seiring erangan-erangan dari kamar sebelah aku bermasturbasi sendiri. Tangan kananku menjentik-jentikan klitorisku dan tangan kiriku memilin-milin payudaraku sendiri, kubayangkan Tante Maria mencumbuiku dan aku membayangkan juga wajah cantik pramugari itu menciumiku, dan tak terasa cairan membasahi tanganku, walaupun aku belum orgasme tapi tiba-tiba semua gelap dan ketika kubuka mataku, matahari pagi sudah bersinar sangat terang.
Aku mandi membersihkan diriku, karena tadi malam aku tidak sempat membersihkan diriku. Aku keluar kamar dan kulihat mereka berdua sedang bercanda di sofa. Ketika aku datang mereka berdua diam seolah kaget dengan kehadiranku. Tante Maria memperkenalkan pramugari itu kepadaku,
“Rus, kenalkan ini pramugari kamar sebelahmu.”
Kusorongkan tangan kepadanya untuk berjabat tangan dan ia membalasnya,
“Hai, cantik namaku Vera, namamu aku sudah tahu dari Ibu Kos, semoga kita dapat menjadi teman yang baik.”
Kulihat sinar matanya sangat agresif kepadaku, wajahnya memang sangat cantik, membuatku terpesona sekaligus iri kepadanya, ia memang sempurna. Aku menjawab dengan antusias juga,
“Hai, Kak, kamu juga cantik sekali, baru pulang tadi malam.”
Dan ia mengangguk kepala saja, aku tak tahu apa lagi yang diceritakan Tante Maria kepadanya tentang diriku, tapi aku tak peduli kami beranjak ke meja makan. Di meja makan sudah tersedia semua masakan yang dihidangkan oleh Tante Maria, kami bertiga makan bersama. Kurasakan ia sering melirikku walaupun aku juga sesekali meliriknya, entah mengapa dadaku bergetar ketika tatapanku beradu dengan tatapannya.
Tiba-tiba Tante Maria memecahkan kesunyian,
“Hari ini Tante harus menjenguk saudara Tante yang sakit, dan bila ada telpon untuk Tante atau dari suami Tante, tolong katakan Tante ke rumah Tante Diana.”
Kami berdua mengangguk tanda mengerti, dan selang beberapa menit kemudian Tante Maria pergi menuju rumah saudaranya. Dan tinggallah aku dan Vera sang pramugari itu, untuk memulai pembicaraan aku mengajukan pertanyaan kepadanya,
“Kak Vera, rupanya sudah kos lama disini.”
Dan Vera pun menjawab, “Yah, belum terlalu lama, baru setahun, tapi aku sering bepergian, asalku sendiri dari kota “Y”, aku kos disini hanya untuk beristirahat bila perusahaan mengharuskan aku untuk menunggu shift disini.”
Aku mengamati gaya bicaranya yang lemah lembut menunjukan ciri khas daerahnya, tubuhnya tinggi semampai. Dari percakapan kami, kutahu ia baru berumur 26 tahun. Tiba-tiba ia menanyakan hubunganku dengan Tante Maria. Aku sempat kaget tetapi kucoba menenangkan diriku bahwa Tante Maria sangat baik kepadaku. Tetapi rasa kagetku tidak berhenti disitu saja, karena Vera mengakui hubungannya dengan Tante Maria sudah merupakan hubungan percintaan.
Aku pura-pura kaget,
“Bagaimana mungkin kakak bercinta dengannya, apakah kakak seorang lesbian,” kataku.
Vera menjawab, “Entahlah, aku tak pernah berhasil dengan beberapa pria, aku sering dikhianati pria, untung aku berusaha kuat, dan ketika kos disini aku dapat merasakan kenyamanan dengan Tante Maria, walaupun Tante Maria bukan yang pertama bagiku, karena aku pertama kali bercinta dengan wanita yaitu dengan seniorku.”
Kini aku baru mengerti rahasianya, tetapi mengapa ia mau membocorkan rahasianya kepadaku aku masih belum mengerti, sehingga aku mencoba bertanya kepadanya,
“Mengapa kakak membocorkan rahasia kakak kepadaku.”
Dan Vera menjawab, “Karena aku mempercayaimu, aku ingin kau lebih dari seorang sahabat.”
Aku sedikit kaget walaupun aku tahu isyarat itu, aku tahu ia ingin tidur denganku, tetapi dengan Vera sangat berbeda karena aku juga ingin tidur dengannya. Aku tertunduk dan berpikir untuk menjawabnya, tetapi tiba-tiba tangan kanannya sudah menyentuh daguku.
Ia tersenyum sangat manis sekali, aku membalas senyumannya. Lalu bibirnya mendekat ke bibirku dan aku menunggu saat bibirnya menyentuhku, begitu bibirnya menyentuh bibirku aku rasakan hangat dan basah, aku membalasnya. Lidahnya menyapu bibirku yang sedkit kering, sementara bibirku juga merasakan hangatnya bibirnya. Lidahnya memasuki rongga mulutku dan kami seperti saling memakan satu sama lain. Sementara aku fokus kepada pagutan bibirku, kurasakan tangannya membuka paksa baju kaosku, bahkan ia merobek baju kaosku. Walau terkejut tapi kubiarkan ia melakukan semuanya, dan aku membalasnya kubuka baju dasternya. Ciuman bibir kami tertahan sebentar karena dasternya yang kubuka harus dibuka melewati wajahnya.
Kulihat Bra hitamnya menopang payudaranya yang lumayan besar, hampir seukuran denganku tetapi payudaranya lebih besar. Ketika ia mendongakkan kepalanya tanpa menunggu, aku cium leher jenjangnya yang sexy, sementara tanggannya melepas bra-ku seraya meremas-remas payudaraku. Aku sangat bernafsu saat itu aku ingin juga merasakan kedua puting payudaranya. Kulucuti Bra hitamnya dan tersembul putingnya merah muda tampak menegang, dengan cepat kukulum putingnya yang segar itu. Kudengar ia melenguh kencang seperti seekor sapi, tapi lenguhan itu sangat indah kudengar. Kunikmati lekuk-lekuk tubuhnya, baru kurasakan saat ini seperti seorang pria, dan aku mulai tak dapat menahan diriku lalu kurebahkan Vera di sofa itu. Kujilati semua bagian tubuhnya, kulepas celana dalamnya dan lidahku mulai memainkan perannya seperti yang diajarkan Tante Maria kepadaku. Entah karena nafsuku yang menggebu sehingga aku tidak jijik untuk menjilati semua bagian analnya. Sementara tubuh Vera menegang dan Vera menjambak rambutku, ia seperti menahan kekuatan dasyat yang melingkupinya.
Ketika sedang asyik kurasakan tubuh Vera, tiba-tiba pintu depan berderit terbuka. Spontan kami berdua mengalihkan pandangan ke kamar tamu, dan Tante Maria sudah berdiri di depan pintu. Aku agak kaget tetapi matanya terbelalak melihat kami berdua berbugil. Dijatuhkannya barang bawaannya dan tanpa basa-basi ia membuka semua baju yang dikenakannya, lalu menghampiri Vera yang terbaring disofa. Diciuminya bibirnya, lalu dijilatinya leher Vera secara membabi buta, dan tanggannya yang satu mencoba meraihku. Aku tahu maksud Tante Maria, kudekatkan wajahku kepadanya, tiba-tiba wajahnya beralih ke wajahku dan bibirnya menciumi bibirku. aku membalasnya, dan Vera mencoba berdiri kurasakan payudaraku dikulum oleh lidah Vera. Aku benar-benar merasakan sensasi yang luar biasa kami bercinta bertiga. Untung waktu itu hujan mulai datang sehingga lingkungan mulai berubah menjadi dingin, dan keadaan mulai temaram. Vera kini melampiaskan nafsunya menjarah dan menikmati tubuhku, sementara aku berciuman dengan Tante Maria. Vera menghisap klitorisku, aku tak tahu perasaan apa pada saat itu. Setelah mulut Tante Maria meluncur ke leherku aku berteriak keras seakan tak peduli ada yang mendengar suaraku. Aku sangat tergetar secara jiwa dan raga oleh kenikmatan sensasi saat itu.
Kini giliranku yang dibaringkan di sofa, dan Vera masih meng-oral klitorisku, sementara Tante Maria memutar-mutarkan lidahnya di payudaraku. Akupun menjilati payudara Tante Maria yang sedikit kusut di makan usia, kurasakan lidah-lidah mereka mulai menuruni tubuhku. Lidah Vera menjelejah pahaku dan lidah Tante Maria mulai menjelajah bagian sensitifku. Pahaku dibuka lebar oleh Vera, sementara Tante Maria mengulangi apa yang telah dilakukan Vera tadi, dan kini Vera berdiri dan kulihat ia menikmati tubuh Tante Maria. Dijilatinya punggung Tante Maria yang menindihku dengan posisi 69, dan Vera menelusuri tubuh Tante Maria. Tetapi kemudian ia menatapku dan dalam keadaan setengah terbuai oleh kenikmatan lidah Tante Maria. Vera menciumi bibirku dan aku membalasnya juga, hingga tak terasa kami berjatuhan dilantai yang dingin. Aku sangat lelah sekali dikeroyok oleh mereka berdua, sehingga aku mulai pasif. Tetapi mereka masih sangat agresif sekali, seperti tidak kehabisan akal Vera mengangkatku dan mendudukan tubuhku di kedua pahanya, aku hanya pasrah. Sementara dari belakang Tante Maria menciumi leherku yang berkeringat, dan Vera dalam posisi berhadapan denganku, ia menikmatiku, menjilati leherku, dan mengulum payudaraku. Sementara tangan mereka berdua menggerayangi seluruh tubuhku, sedangkan tanganku kulingkarkan kebelakang untuk menjangkau rambut Tante Maria yang menciumi tengkuk dan seluruh punggungku.
Entah berapa banyak rintihan dan erangan yang keluar dari mulutku, tetapi seakan mereka makin buas melahap diriku. Akhirnya aku menyerah kalah aku tak kuat lagi menahan segalanya aku jatuh tertidur, tetapi sebelum aku jatuh tertidur kudengar lirih mereka masih saling menghamburkan gairahnya. Saat aku terbangun adalah ketika kudengar dentang bel jam berbunyi dua kali, ternyata sudah jam dua malam hari. Masih kurasakan dinginnya lantai dan hangatnya kedua tubuh wanita yang tertidur disampingku. Aku mencoba untuk duduk, kulihat sekelilingku sangat gelap karena tidak ada yang menyalakan lampu, dan kucoba berdiri untuk menyalakan semua lampu. Kulihat baju berserakan dimana-mana, dan tubuh telanjang dua wanita masih terbuai lemas dan tak berdaya. Kuambilkan selimut untuk mereka berdua dan aku sendiri melanjutkan tidurku di lantai bersama mereka. Kulihat wajah cantik Vera, dan wajah anggun Tante Maria, dan aku peluk mereka berdua hingga sinar matahari datang menyelinap di kamar itu.
Pagi datang dan aku harus kembali pergi kuliah, tetapi ketika mandi seseorang mengetuk pintu kamar mandi dan ketika kubuka ternyata Vera dan Tante Maria. Mereka masuk dan di dalam kamar mandi kami melakukan lagi pesta seks ala lesbi. Kini Vera yang dijadikan pusat eksplotasi, seperti biasanya Tante Maria menggarap dari belakang dan aku menggarap Vera dari depan. Semua dilakukan dalam posisi berdiri. Tubuh Vera yang tinggi semampai membuat aku tak lama-lama untuk berciuman dengannya aku lebih memfokuskan untuk melahap buah dadanya yang besar itu. Sementara tangan Tante Maria membelai-belai daerah sensitif Vera. Dan tanganku menikmati lekuk tubuh Vera yang memang sangat aduhai. Percintaan kami dikamar mandi dilanjutkan di ranjang suami Tante Maria yang memang berukuran besar, sehingga kami bertiga bebas untuk berguling, dan melakukan semua kepuasan yang ingin kami rengkuh. Hingga pada hari itu aku benar-benar membolos masuk kuliah.
Hari-hari berlalu dan kami bertiga melakukan secara berganti-ganti. Ketika Vera belum bertugas aku lebih banyak bercinta dengan Vera, tetapi setelah seminggu Vera kembali bertugas ada ketakutan kehilangan akan dia. Mungkin aku sudah jatuh cinta dengan Vera, dan ia pun merasa begitu. Malam sebelum Vera bertugas aku dan Vera menyewa kamar hotel berbintang dan kami melampiaskan perasaan kami dan benar-benar tanpa nafsu. Aku dan Vera telah menjadi kekasih sesama jenis. Malam itu seperti malam pertama bagiku dan bagi Vera, tanpa ada gangguan dari Tante Maria. Kami bercinta seperti perkelahian macan yang lapar akan kasih sayang, dan setelah malam itu Vera bertugas di perusahaan maskapai penerbangannya ke bangkok.
Entah mengapa kepergiannya ke bandara sempat membuatku menitikan air mata, dan mungkin aku telah menjadi lesbian. Karena Vera membuat hatiku dipenuhi kerinduan akan dirinya, dan aku masih menunggu Vera di kos Tante Maria. Walaupun aku selalu menolak untuk bercinta dengan Tante Maria, tetapi saat pembayaran kos, Tante Maria tak ingin dibayar dengan uang tetapi dengan kehangatan tubuhku di ranjang. Sehingga setiap satu bulan sekali aku melayaninya dengan senang hati walaupun kini aku mulai melirik wanita lainnya, dan untuk pengalamanku selanjutnya kuceritakan dalam kesempatan yang lain
Namaku Lisa dan sudah setahun lebih aku tinggal di New York, Amerika setelah aku tinggalkan kelas 1 SMA ku di Bandung. Hidup di sini bersama abang memang cukup enak, paling tidak di sekitar apartemen kami lokasinya aman dan bersahabat, dan tidak perlu berkhawatir jika kebetulan aku jalan sendirian di malam hari. Sekolahku adalah SMA publik, dan murid-muridnya keren-keren, datang dari berbagai ras. Hari-hariku biasanya diisi dengan sekolah, pergi ke tempat-tempat nongkrong anak SMA, biasanya toko Fast Food, kerja sambilan sebagai pelayan di restoran Oriental dekat rumahku (yang kadang-kadang juga tempat nongkrong anak-anak seusiaku), kerja sukarela sebagai pengawas perpustakaan, serta kegiatan ekstrakurikulerku sebagai anggota klub Sepakbola wanita dan kelompok Drama. Ada beberapa anak dari Indonesia juga, di SMA ku, hanya aku jarang bertemu dengan mereka di sekolah.
Baru-baru ini kelompok drama sekolahku mengadakan kunjungan wisata ke ibukota di Washington DC. Seorang gadis baru bernama Felicia baru saja mengikuti kegiatan ini. Aku sebenarnya sudah beberapa kali melihat Felicia di sekitar sekolah dan sudah lama merasa cukup iri dengan kakinya yang panjang serta matanya yang tajam dan seolah selalu penuh gairah. Felicia adalah seorang Latina, sebab kedua orangtuanya berasal dari Puerto Rico. Saat pertama kali kulihat Felicia di sekolah, aku jadi teringat dengan acara-acara TV minggu siang yang sering disaksikan oleh pembantu dan supir di tempat kostku dulu di Bandung seperti Maria Mercedes dan sebangsanya. Nah, saat perjalanan wisata ke Washington di atas bis dan kebetulan duduk sebangku, kami berdua segera menjalin persahabatan baru. Bercakap-cakap dengan Felicia benar-benar menarik sebab dia benar-benar supel dan pintar berbicara. Di tengah diskusi mengenai simpatinya terhadap kondisi Indonesia, kusempatkan diriku untuk mengamati rupa teman baruku.
Sepertiku, Felicia berbadan semampai. Rambut lurus dan alisnya berwarna coklat muda, rambutnya sedikit lebih panjang dan kulit Felicia jauh lebih pucat dari kulitku yang kuning. Bibirnya yang berbentuk mungil berwarna merah muda dengan hanya polesan sedikit lipstik saja dan bergerak-gerak secara menawan saat Felicia berbicara dengan logat latinnya yang enak didengar. Seperti murid-murid keturunan Spanyol lainnya di sekolahku, gaya berpakaian Felicia benar-benar santai, seperti celana pendek, dan kaos oblong tangan panjang, namun potongan depannya pendek yang berakhir di atas bagian pusar, sehingga dadanya yang membusung membuatnya tampil benar-benar feminin dan eksotik. Kaus kaki Miki Tikus warna putih menutupi sebagian betis Felicia, sepatunya model santai seperti Converse, dan Felicia mengenakan seuntai kalung perak sebagai aksesoris sementara telinganya ditindik tiga dengan giwang-giwang kecil diatur artistik. Namun yang bikin aku benar-benar seperti terhipnotis adalah tatapan mata biru jernih Felicia yang menyorot tajam, mengundang, dan benar-benar hidup. Jika ada yang mengamati, mungkin kami berdua akan tampak cukup menarik sebab aku sendiri menjaga penampilanku cukup konservatif walaupun di Indonesia mungkin lumrah saja melihat gadis remaja delapan belas tahun mengenakan turtle neck, rompi dan rok selutut dan rambut kuncir kuda. Tak lama setelah kami mulai berbicara, hilanglah sudah minatku terhadap kunjungan wisata ini.
Sementara waktu berlalu, kami mulai saling menyentuh tangan atau kaki satu dengan lainnya saat ingin menekankan apa yang kami bicarakan. Sentuhan-sentuhan yang mulanya tanpa niat apapun ini lama-lama mulai menelantarkan diri, sampai akhirnya, kami mulai berbicara mengenai seks. Kami saling bertukar pengalaman, dan aku benar-benar terpesona oleh perbedaan kebudayaan dan latar belakang kami berdua. Kata Felicia, dalam masyarakan Hispanik (ras keturunan campuran Spanyol dengan penduduk asli Amerika) sudahlah menjadi standar bagi remaja mereka untuk kehilangan keperawanan atau keperjakaan pada umur sekitar 15 tahun. Setahun di Amerika, banyak pandangan mengenai seks dan hubungan romantis yang dulu kupunyai di Indonesia berubah menjadi sedikit lebih santai. Walaupun aku masih belum sampai sejauh bersanggama, pacarku di sini kadang-kadang menelusuri bagian-bagian tubuhku yang tadinya kuputuskan ‘off-limit’ bagi pacar. Biar bagaimanapun, toh aku masih orang Timur. Di kota seperti New York, walaupun kebudayaan Barat lebih toleran terhadap hubungan kelamin pranikah, toh umumnya remaja hanya berhubungan dengan satu pasangan saja sekitar paling tidak enam bulan, mungkin karena kewaspadaan terhadap penyakit.
Mendengar penjelasanku mengenai norma masyarakat di Indonesia, Felicia mengangguk-angguk, dan menyatakan bahwa pandangan seperti itu ada baiknya juga. Diapun kemudian mulai bercerita mengenai pengalaman-pengalaman masa lalunya, sentuhan-sentuhan nyasar kami makin sering. Kami mulai saling menggoda secara fisik, dan sebelum bis kami bergulir memasuki batas kota Washington DC setelah hampir seharian perjalanan, hanya ada satu hal dalam benakku: untuk berhubungan intim dengan Felicia.
Saat memasuki hotel, kami mengatur untuk membagi ruangan yang sama. Senja itu, kami berkeliling dan melihat tempat-tempat bersejarah terkenal. Selesai mandi dan makan malam, bersama sekelompok dari murid-murid aku dan Felicia pergi menyaksikan sebuah filem berjudul “Scream”. Ketika di layar ditunjukkan sebuah bagian filem yang menakutkan, kami berdua saling berpegangan tangan dan Felicia memelukku erat. Selesai bagian tersebut, Felicia meletakkan tanganku ke pahanya yang tak tertutup. Kami berdua kebetulan memakai rok pendek, dan beberapa menit kemudan Felicia mencoba merubah sikap duduk dan merenggangkan kakinya, serta membimbing tanganku di antara kedua kakinya. Lalu ia bergerak dan secara perlahan mengusapkan tangannya ke bagian dalam pahaku. Kulepaskan pekikan kecil ketika Felicia menemukan apa yang diinginkannya.
Sementara kami berpura-pura menonton filem, kumain-mainkan rabaanku di celana dalam bagian depan milik Felicia sampai kubuat dia basah sementara ujung jarinya bergeser naik dan turun di bagian yang sama dari celana dalam milikku, mendorong kain yang tipis itu ke dalamku. Tidak mengambil waktu lama sebelum kami berdua mulai saling menjari satu sama lain. Kami mulai bernapas kencang dan berat, dan tak bisa disangkal lagi, di udara mulailah muncul bau kewanitaan basah yang cukup jelas tercium. Salah seorang gadis sesekolahku duduk di deretan belakang kami. Ia menggeser diri diantara bahu kami dan berbisik, “Kalian berdua merpati cinta sebaiknya mulai berhenti sebelum semua orang mulai menonton kamu dan bukan filem ini!” Gadis itu betul, kami benar-benar mulai terbawa situasi. Secara ogah-ogahan kamipun berhenti. Pada menit yang sama Felicia menarik jarinya keluar dariku, kusadari bahwa aku benar-benar menginginkannya kembali di dalamku. Setelah mengatur napas, Felicia mendekatiku dan berbisik, “Nanti.”
“Aku tak sabar menunggu,” bisikku balik sedangkan hidungku menghirup aroma intim Felicia yang membalut jariku. Kujilat bersih jariku dan kugenggam tangan Felicia sampai pertunjukan berakhir. Pada saat itu aku sudah benar-benar menjadi terangsang, sisa filem yang kami tonton itu tidak ada yang kuingat barang sedikit pun. Kembali ke hotel, kami praktis berlari ke kamar kami, benar-benar tak sabar untuk melanjutkan perbuatan yang terpaksa kami tinggalkan.
Bergegas-gegas aku berganti mengenakan kimono katun tidurku yang berwarna gelap dengan corak tradisional Flores sementara Felicia menanggalkan kaos oblong dan rok pendeknya. Baru kusadari bahwa selama ini Felicia tidak mengenakan bra. Sementara aku bengong menatapi dada Felicia yang betul-betul mulus dan berbentuk sempurna, Felicia memuji keindahan corak kimono katunku dan memintaku untuk membawa oleh-oleh seperti itu jika aku kembali dari Indonesia. Kutunjukkan sebuah cincin yang kubeli dari toko suvenir Indonesia di dekat kedutaan sore hari itu pada Felicia. Direbutnya cincin itu dan dia berkata, “Hahah … dapat!” “Hey, kembalikan!” Kukejar Felicia mengitari ruangan sampai akhirnya kutangkap dia di pojokan. Tiba-tiba dibalikkan badannya dan di mukanya muncul raut nakal sementara tangannya bertolak pinggang. “Mana cincinnya?” tanyaku. “Entah. Coba saja periksa sendiri,” kata Felicia sambil menunjukkan kedua telapak tangannya yang kosong sambil tertawa-tawa kecil.
Karena Felicia saat itu bertelanjang kecuali untuk celana dalam model bikininya, hanya ada satu tempat untuk mencari. “Kamu ini benar-benar nakal,” seruku sambil menatap matanya yang bersinar-sinar bandel, benar-benar menikmati permainan kecil kami.
Pandanganku menyapu wajahnya yang karena berkeringat dan merona merah terlihat benar-benar spektakuler, dengan ujung hidungnya yang runcing dan lesung pipitnya yang molek. Lalu kuturunkan pandangan melewati lehernya yang jenjang, dan dadanya yang naik turun. Sedikit gerah setelah berlarian dalam kamar hotel yang bertemperatur sejuk itu membuat puting Felicia yang berwarna merah muda segar menegak penuh. Kutatap kembali wajahnya sementara kutautkan jariku ke bagian atas celana dalamnya, menarik tali elastis di situ sampai nampak rambut-rambut lembut lurus kecoklatan berjarang-jarang di bawah pusar Felicia. “Di bawah situ, mungkin?” tanyaku.
“Silakan mancing ikan.” Felicia melangkah mendekati, cukup dekat untuk membuat dada kami bergesekan. Perlahan kugerakkan tanganku lebih jauh ke bagian bawah dari perut Felicia yang betul-betul rata dengan sedikit lengkungan feminin dan menyelipkannya ke balik celana dalam Felicia. Ujung-ujung jariku menyentuh rambut-rambut lembutnya dan gelitikan lembutku membuat postur berdirinya lemas, menengadah dan mendesah. “Apakah ini cukup hangat?” tanyaku.
“Betul-betul.” Dipejamkannya kedua mata dan kepalanya semakin menengadah saat jari-jariku bergeser lebih jauh ke bawah sampai seluruh permukaan kelamin Felicia terlindung oleh telapak tanganku. Ia masih cukup lembab hasil dari perbuatan kami di sinema. Cincinku yang hilang tentu saja tersembunyi di celana dalamnya, namun aku tetap berpura-pura mencari-cari benda tersebut. “Di mana, sih cincin ini?” Kunikmati reaksinya terhadap sentuhanku, kudorong selangkangannya ke dalam telapak tanganku. “Sepertinya perlu diselidiki lebih dalam, nih …” godaku.
“Lebih dalam lebih baik,” Felicia menyahut sambil mengerang.
Kubiarkan jemariku menerobos lipatan-lipatan lembutnya dan segera kurasakan sumber kebasahannya. “Mungkin bersembunyi di sini,” lanjut godaanku. Kedua dada kami saling menekan dan mulut kami hanya terpisah jarak seinci. Benar-benar kuingin menciumnya, dan kurasakan badanku bergetar, tak pernah dalam hidupku aku sedekat ini dengan seorang gadis lain. Tapi kuputuskan untuk memperlambat permainan kecil ini, jadi kutarik keluar cincin itu dan kutunjukkan kepadanya. “Ketemu.”
“Itu sih terlalu mudah,” kata Felicia. “Perlu cari tempat persembunyian yang lebih bagus, nih.”
“Contohnya dimana?” kataku sambil menyengir lebar.
“Kira-kira berapa panjang lidahmu?” tanyanya.
Kuleletkan lidahku. “Kira-kira sejauh itu dalam memek saya,” katanya dan kami kedua tertawa keras.
“Felicia, kamu ini benar-benar mesum. Kamu bakal menjadikan kita berdua sepasang lesbian lipstik!”
Secara lembut diremasnya bagian dada kimonoku, dan dibisikkannya, “Oh, kau pikir itu benar-benar hal yang jelek? Akui saja, Lisa, kau sebetulnya benar-benar ingin mencoba, kan?” Bisa kurasakan kehangatan nafasnya menghembus wajahku saat kami berdua saling bertukar pandang. “Well ….” ujarku malu-malu, bermain ‘susah dijerat’. “Sepertinya sih udah pernah kupikir hubungan lesbian mungkin satu …. atau dua kali.” “Biar bagaimanapun,” kata Felicia, “Semua orang tahu bahwa adalah wajar bagi cewek-cewek untuk bereksperimen satu sama lain. Di samping itu, hampir semua cewek yang saya kenal melakukannya setiap waktu. Tahu tidak?” ujarnya sambil mempelajari rautku. “Apa?” kataku. “Kau benar-benar cantik. Unik. Kau punya mata yang hitam benar-benar menarik. Apalagi kau datang dari tradisi yang cukup kekolotan. Bikin kau lebih mengundang. Mmmmm … apakah rata-rata cewek Indonesia tetenya langsing seperti ini?”
“Uh, iya,” kataku, tak sadar kulonggarkan tali pinggang kimonoku, mengakibatkan terbukanya bagian dadaku.
Perlahan Felicia memijit kedua puting payudaraku, dan kurasakan memanasnya bagian di antara kedua pahaku. “Toh lagipula kita berdua perempuan, jadi nggak mungkin hamil. Sama seperti kegiatan menggesek memek sendiri…” lanjut Felicia. Felicia memperkeras pijitannya, dan napasku mengencang, kuhirup udara dengan tersendat-sendat, sementara untuk berdiri tegak aku mulai tak mampu. “Oh, kalau masturbasi, sih, aku benar-benar suka,” kataku. “Bagus, sebab dengan cewek lain, masturbasi jadi jauuuuh lebih menarik dibanding sendirian.” Disambarnya ikat pinggang kimonoku yang sudah memang longgar, menjadikan seluruh tubuhku terekspos. Dengan penuh gairah dirangkulnya pinggangku sementara kakiku menggeser, menyentuh langsung selangkangan Felicia yang lembab.
Tangan Felicia mulai melingkar, menjelajahi bagian belakangku. Diiringi senyum nakalnya, Felicia menarik bagian belakang celana dalamku, membuat bagian selangkangan celana dalamku menjadi tertarik lebih ke dalam. Tekanan yang dirasakan oleh klitorisku yang mulai membengkak hampir membuatku orgasme di tempat sementara kurasakan kedua badan kami seolah meleleh, bercampur satu sama lain. Tak lama kemudian Felicia memasukkan lidahnya ke dalam mulutku, dan kulumat dengan erat lidah kekasihku yang baru ini. “Masih ingin main sembunyi cincin?” tanya Felicia menggoda. “Fuck the ring,” (Persetan dengan cincin itu!) semburku sementara tanganku kembali menyelinap ke dalam celana dalamnya. “I’d rather you fuck me instead,” sahut Felicia, suaranya menyerak seksi, nafasnya panas di telingaku.
“Lalu tunggu apa lagi?” kataku sembari meraih tangannya. Kami pindah ke sebelah ranjang dan menanggalkan apa yang tersisa di badan kami (kecuali celana dalamku). Felicia benar benar terangsang, cairan-cairan kelembaban mulai menetes dan bergulir di pahanya. Seluruh tubuhku mulai bergetar penuh antisipasi, terlebih saat kubayangkan betapa lezatnya jika kuletakkan kepalaku di antara kedua pahanya. Felicia naik ke atas ranjang dan menyandarkan diri ke dinding. Lalu dengan kedua jarinya dipisahkannya kedua bibir vaginanya, dan dengan penuh nafsu kusaksikan jarinya yang lain menerobos masuk. Setelah mengaduk-ngaduk beberapa saat jari lentiknya benar-benar basah, dan Felicia mengeluarkan jarinya, mengacungkannya di depan mukaku, membuat isyarat ‘mendekatlah’. “Ayo, kita bersenang-senang malam ini,” undang Felicia seraya mengangkat kaki kirinya ke dekat wajahku dan memain-mainkan jemari kakinya yang mungil.. Ketika kutanggalkan celana dalamku, kusadari bahwa bagian selangkangan celana dalamku ternyata sudah kuyup. Tadinya hendak kulempar begitu saja celana dalamku itu, namun Felicia berseru, “Tunggu, Lisa, ke sinikan kau punya celana dalam itu!” Kulemparkan celana dalamku, dan segera setelah menyambutnya Felicia mendekatkan celana dalam itu ke hidung mancungnya sembari menghirup dalam-dalam aroma sekresi kewanitaanku. “Ooooh, bau kamu betul-betul sedap!”
“Memangnya sudah kebiasaanmu, yah, menciumi celana dalam milik cewek lain?”, tanyaku seraya tersenyum lebar. “Oh, cuma mereka-mereka yang bakal saya entot,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata. Felicia mengusap-usapkan bagian selangkangan celana dalamku yang basah kuyup ke hidung dan mulutnya sementara matanya mengawasiku, yang mulai mengecupi jari-jari kakinya. Kususupkan lidahku di antara setiap jari, kukulum, dan Felicia mulai tertawa-tawa geli campur nafsu. Lalu mulailah kutelusuri kakinya yang panjang dengan bibirku, dan berhenti ketika aku sampai di bagian dalam pahanya. Kujilat, kukecup, dan kugigit lembut kulitnya yang putih mulus. Oh, Tuhan, Felicia betul lembut! Kuciumkan kecupan-kecupan kecil mengitari kelaminnya, dan dengan susah payah kutekan keinginanku untuk langsung menyelami kelamin Felicia dengan mulutku. Dalam pikiranku, sejak Felicia adalah perempuan pertama dalam hidupku yang kujilat kemaluannya, maka ada baiknya kupastikan bahwa kami berdua benar-benar terangsang dulu sebelum kukubur mukaku di selangkangannya. Aku bergerak mendekati mulutnya. “Aku benar-benar butuh kamu,” kataku. Felicia melingkarkan tangannya dan kamipun French kissed.
Lalu Felicia perlahan mengangkatku, memposisikan kedua susuku di depan wajahnya. Dikulumnya salah satu puting susuku di antara kedua bibirnya dan mulutnya yang hangat menyedoti putingku, mengirimkan gelombang-gelombang kenikmatan ke seluruh tubuhku. “Saya punya ide,” katanya sambil terus menjilati. “Bagaimana kalau kita bolos saja dan tidak usah ikut tur besok? Kita bisa mengunci diri di kamar ini dan berasyik-asyikan seharian penuh.” Untuk membujukku, Felicia menyelipkan tangannya di antara pahaku dan mulai mengusap-usap celahku. Kusongsongkan pinggulku menyambut dua jari Felicia ke dalamku. Ia melanjutkan menghisap payudaraku sekaligus jarinya menjalari vulvaku, sedangkan aku hanya mendesah-desah mendorong-dorongkan kemaluanku menyongsong tangannya. Kupejamkan mata dan kurasakan cairan kental kewanitaanku menyemprot keluar saat ujung-ujung jari Felicia menjepit klitorisku. Orgasme yang kurasakan betul-betul intens, sumpah mati saat itu aku menyaksikan bintang-bintang.
“Kalau kita tinggal di ranjang sepanjang hari,” ujarku setelah pada akhirnya berhasil mengatur napas kembali, “Kapan kita makan?” “Kalau kamu lapar,” jawab Felicia, “Kamu bisa lahap memek saya saja.” “Ah, kamu ini memang benar-benar nakal!” seruku dan kami berduapun tertawa-tawa. Kemudian akupun kembali menciumi tubuhnya, menelusur kembali ke bagian bawah. Harum keringatnya membalut badannya, dan aku benar-benar menikmati rasa keasin-asinan leher dan celah dadanya. Puting payudaranya yang merah segar berbeda dengan milikku yang berwarna coklat, dan saat kusedot kedua pentilnya, warna mereka berubah menjadi gelap dan mengeras. Puting dada Felicia terlihat persis dengan karet penghapus merah di ujung sebuah pensil, dan tampak kecil dibanding ukuran dadanya yang paling tidak 36 C. Pentilku sendiri kira-kira sebesar uang 25 logam, dan menurutku pas untuk ukuran 32B-ku. Kurasakan kedua ujung dadaku mulai menegak karena bersentuhan dengan perut lembut temanku ini. Felicia merangkapkan kakinya mengitari pinggangku, dan menyodor-nyodorkan selangkangannya, klitorisnya berusaha mendapatkan sebanyak mungkin gesekan.
“Oh, Tuhan. Lisa, kamu betul-betul membuat saya senewen,” kata Felicia terengah-engah. Felicia mencoba menurunkan tangannya untuk mengelus-elus kelentitnya sendiri, tapi segera kucegah. “Sabar,” kataku, “Yang satu itu akan kutangani sebentar lagi.” “Saya benar-benar perlu kau ewe sekarang,” mohonnya. “Jangan terlalu terburu-buru,” balasku seraya menyembulkan lidahku ke dalam pusar Felicia, dan meninggalkan kecupan kecupan basah menuruni perutnya. Felicia mengangkat pantatnya mencoba membimbing mulutku ke arah gerbang keperempuanannya. “Kunyah saya, … please!” jeritnya tak sabar. Kurebahkan diri di antara kedua paha Felicia, kugunakan tanganku untuk membuka lebar labianya.
Kugunakan hidungku untuk membelah lipatan kelaminnya dan menghirup dalam-dalam. Keharuman kelamin Felicia menyengat inderaku. Aromanya jauh lebih terasa dibandingkan dengan bau cairanku sendiri. Bibir dalam dari kemaluan Felicia yang berwarna merah muda menyelinap keluar, dan sekresi kewanitaannya menjadikan bibir tersebut benar-benar kontras dengan bibir luar kemaluannya yang berwarna merah gelap. Lalu perlahan kutarik kulit pelindung kelentitnya, menjadikan klitorisnya yang bengkak mencuat keluar, dan kucolek dengan menggunakan jari telunjuk. “Kau ini benar-benar centil tukang goda. Saya benci, deh,” rintih Felicia.
“Pembohong,” sahutku. Kelentitnya betul-betul keras dan tegang, dan berdetak kencang saat kusentuh. Kutiup tonjolan ini, dan pinggul Felicia terangkat, menyambut mulutku. Ia benar-benar basah, dan kuusapkan seluruh wajahku di sekujur kelaminnya. Pipi, hidung dan mulutku berlumuran cairan hangatnya. “Lisa, please,” minta Felicia, jemari tangannya menelusuri rambut kepalaku, “Memek saya butuh sekali ….” Akhirnya, kuputuskan untuk memenuhi. Menarik napas panjang, kupejamkan kedua mataku. Lidahku menelusur sepanjang garis celah kelamin Felicia. Bibir-bibir lembut Felicia membuka dan kukecap tempat paling rahasia di dunia, surga kecil di belahan paha seorang gadis. Kucicipi sari vagina Felicia, dan rasanya ternyata lebih manis lagi daripada aromanya. Kurenggangkan pahanya lebar-lebar dan kucelupkan lidahku ke dalam lubang kecil merah muda yang hangat dan lembab milik temanku.
Dinding-dinding manis kemaluannya bergerak-gerak membuka dan menutup, menjerat lidahku erat-erat. Aku menyedot dan menjilat bagaikan hidup matiku bergantung kepada memberikan Felicia orgasme terhebat yang pernah dia alami. Mengunyah kelamin Felicia adalah mungkin hal paling erotis yang pernah kualami. Aromanya memenuhiku dengan gairah saat kujilat, kusedot, dan kutelan air keluarannya. Aku benar-benar tersapu oleh kenikmatan terlarang dari berhubungan intim dengan seorang gadis dan saat itu kuputuskan bahwa seks dengan lelaki jatuh ke nomor tiga dalam urutan orgasmeku, setelah memakan vagina dan masturbasi.
Felicia sudah hampir sampai di puncak ketika kuperintahkan, “Berbaliklah, aku ingin jilat pantatmu.” Felicia segera menurut dan tak lama kemudan aku menyaksikan kelaminnya yang indah dari belakang, seluruh bagian kemaluannya merebak, dan sari-sarinya menetes berjatuhan. Seperti seekor anjing, kuendus-endus Felicia dari belakang. Kukecup gundukan-gundukan padat milik temanku, lalu kulebarkan keduanya, dan kujilat pertengahannya dari atas ke bawah. Campuran dari keringatnya yang keasinan, sirup vaginanya yang manis, dan rasa keasaman dari anusnya adalah rangsangan yang tak ada duanya. Kuselipkan kembali lidahku kedalam kemaluannya, dan kumasukkan ujung hidungku ke celah pantatnya yang terlihat berkerut.
Menjilat habis Felicia memberikanku dorongan yang kuat, namun juga terasa sungguh lembut dan manis, sungguh feminin. Susah kubayangkan sesuatu yang lebih indah dari dua wanita saling bercinta. Saat itu kutemukan rahasia cinta-wanita dan akupun ketagihan, rasanya ingin merangkak ke dalam celah milik kawanku ini dan tinggal disitu selamanya. Sementara kulumat dengan ganasnya, kumasukkan jari tengahku kedalam vaginaku sendiri. Lalu dengan mulut penuh menampung air liurku dan cairan sekresinya kubasahi anus Felicia. Perlahan jari tengahku yang basah terbalut pelumasku sendiri kudorong melalui kerutan lubang pantatnya yang mungil. Felicia terasa benar-benar hangat dan lembut di dalam dan aku bisa merasakan otot-ototnya berkontraksi untuk menahan jariku di situ. Kudengar partnerku mengerang-erang dalam bahasa Spanyol yang walaupun tak kumengerti namun ekspresi universal seorang gadis diambang orgasme bisa kupahami.
Felicia menutupi mukanya dengan sebuah bantal dan tak bisa berhenti merintihkan jeritan-jeritan kenikmatan. “Aaaaaah, Dios Mio!” serunya ketika jari-jariku yang lain bergulir di klitorisnya. Dielus, dijepit, dan diperah seperti itu membuat kelentit Felicia menjadi betul betul sensitif. Mengetahui bahwa kami berdua benar-benar dekat dengan puncak, Felicia dengan cepat melempar bantal yang menutupi mukanya, dan mengerang, “… seb… sebentar.” Kuhentikan gerakanku dan didorongnya tubuhku, menjadikanku terlentang di ranjang dengan kedua kakiku terkangkang lebar. Dengan gerakan cepat tangan kiri Felicia meraih pergelangan kaki kiriku dan mengangkat, meletakkan kakiku di pundaknya sementara dengan tangan kanannya mendorong lutut kananku, melebarkan labiaku.
Memposisikan bagian bawah dari tubuh langsingnya di antara kedua pahaku, Felicia berkata, “Itilku dan itilmu.” Dengan dua jari kutarik ke atas kulit depan klitorisku sementara Felicia melakukan hal yang sama dengan klitorisnya sendiri, lalu Feliciapun bergeser sehingga kedua kemaluan kami bertemu. Perasaanku saat itu tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Melalui kerimbunan hitam rambut kelaminku kulihat coklat lembut rambut kelamin Felicia sementara dadanya yang putih mulus dan memerah karena gairah terlihat kontras bergesekan dengan betisku yang kuning langsat. Kedua vagina kami, dengan labia yang basah saling menghempas, saling menjalin, dan saling melelehi menjadi satu. Felicia bergerak memutar-mutar selangkangannya dan kedua kelentit kami yang mencuatpun saling bergesekan.
“Aaaah, ahhh, y.. ess .. yess…” Kupejamkan mata dan perlahan kuremas-remas dadaku dengan tanganku yang bebas. “Ooooh, ngh … aaakh….” Kurasakan cengkeraman tangan Felicia meninggalkan pergelangan kakiku saat ia menengadah dan tubuhnya mulai terkejang-kejang. Kurasakan bagian bawah tubuhku bergerak-gerak seperti kehilangan kontrol, maju mundur naik turun bagaikan piston. “Oooooooh …. ye .. eee … eeeesssssh …!” seru kami bersamaan saat kedua kelentit kami saling bergesekan dengan kencangnya. Tubuhku bergelinjang hebat, Felicia mengejang dan terasa waktupun menghilang saat secara bersamaan vagina kami menyemburkan cairan kental orgasme.
Sekali, dua kali, dan tiga kali gelombang orgasme menghempas Felicia, dan bahkan saat terbaring lunglai di sisikupun tubuh seksinya masih bergemetar. Kulingkarkan lenganku di bahunya, dan kurangkul kekasih baruku erat-erat. Kukecup pipinya lembut. Felicia membuka matanya, menyambar bibirku dan melumat mulutku. “Idih, kau berasa seperti memek,” katanya. “Ayo kita melarikan diri saja, dan bercinta selamanya,” kusuarakan angan-angan di benakku. “Kedengarannya enak,” balas Felicia. Kami kembali berciuman dan kurasakan tangan Felicia kembali meraba-raba rimbunan hitamku yang sekarang benar-benar basah kuyup tersiram sekresi kami berdua.
Kubiarkan diriku pasif terbaring di pelukan Felicia cukup lama sementara dia bermain dengan bagian bawahku; belaian-belaiannya lembut seolah ia menghapal seluruh tonjolan dan lipatan-lipatan vaginaku. Lalu Felicia menelentangkan diri. “Ayo kita ngentot lagi,” katanya sembari menggoyang-goyangkan tubuh mengatur posisi. “Ayo duduk di muka saya,” perintahnya. Akupun berlutut, menunggangi kepalanya, dan mulai menurunkan kemaluanku ke wajah cantik Felicia. Felicia memiliki lidah yang betul-betul panjang dan akupun mulah mendesah dan mengerang ketika ia melesakkan lidahnya ke dalamku senti demi senti. Urat-urat dalam vaginaku otomatis mencengkram erat lidah Felicia sementara pinggulku bergerak melingkar dengan perlahan, benar-benar larut dalam ulasan lidah Felicia. Mulutku terasa kering dan akupun merasa betul-betul perlu melahap vaginanya lagi.
Kuputar posisiku, kurendahkan kepalaku dan kami bercinta dalam posisi enam sembilan. Kembali kulimpahkan segala perhatianku ke kelamin partnerku, menyibakkan labianya yang hangat, dan ketika kukecap pelumas Felicia yang mulai mengucur kembali, kurasakan jarinya yang giliran menjelajahi pantatku. Napasku kembali terengah-engah sementara lidah Felicia membelai-belai jauh ke dalam rahimku dan jarinya menjelajahi bagian belakangku. “Uuuuuuuuh ….. uuungh … unghhh …” seruku tertahan-tahan sebab mulut dan hidungku terselimut keperempuanan Felicia sementara diapun mengeluarkan suara-suara yang serupa. “Ah! Aah! Aaaah! Lagi …” Otot-otot vaginaku menggeletar saat Felicia menggigit lembut klitorisku. “Auh!” “Yaaa..h!” Kurasakan geliginya mengitari kacangku. “Oooooh… yeessh .. sssh…” Kulingkari kelentitnya dengan bibirku dan kusedot keras-keras. “Yes… yes… yeee … eee .. sh!” “YEEEESSSSH ….MMMMMH… MFFFFFH ….” Ujung lidah kami berdua mengulas-ulas kedua kelentit dengan gerakan sangat cepat, kurasakan seluruh urat kedua vagina kami mengencang dan mengendur di luar kontrol dan kami pun kembali tenggelam, orgasme membanjir keluar.
Setelah kembali mengatur napas, kulepaskan diriku dan kuhempaskan diriku di samping Felicia supaya kami bisa saling bertatapan wajah. Dengan lengan dan kaki kami saling merangkum, kami bersentuhan berciuman lembut, betul-betul kehabisan tenaga dan kecapaian. “Mudah-mudahan besok saya bangun sebelum kau bangun,” katanya setengah bermimpi. “Memangnya ada apa?” seraya menyibakkan rambutnya ke samping, mengecupi pipi, hidung, dan kelopak matanya yang terpejam. “Sebab, hal pertama yang saya ingin kamu lihat besok pagi adalah wajah saya tersenyum di antara kedua pahamu,” jelasnya. “Oh, Tuhan, rasanya sekarang ini saya sudah jatuh cinta,” kataku lembut. “Sini, saya jaga biar tetap hangat,” katanya sambil merangkum kemaluanku ke dalam telapak tangannya yang memang hangat. Kukecup kembali bibirnya, dan sementara kami berdua berpelukan erat, kunikmati kehangatan lembab semak-semaknya yang bersandar ke pahaku. Setelah selama beberapa lama hanya desiran mesin pendingin udara yang terdengar, melalui dinding terdengar suara-suara dua orang gadis dari kamar sebelah. Tak mungkin tidak, mereka sedang bercinta.
“Kan, sudah saya bilang. Semua cewek berbuat hal yang sama,” kata Felicia sambil tersenyum lebar. “Mungkin besok kita perlu mengunjungi tetangga sebelah dan mengundang mereka untuk mampir,” sahutku setengah tertidur. “Tapi itu artinya saya harus membagi kau dengan mereka,” kata Felicia. “Betul,” gumamku setengah bermimpi, “Tapi ingatlah bahwa itu juga artinya kamu bakal punya tiga buah memek yang lembek dan basah untuk dilahap ditambah tiga mulut hangat untuk melayanimu.” “Mmmm,” katanya sembari membasahi bibir, “Betul juga. Mari kita beramah-tamah dengan mereka besok.” Kami kembali berciuman lembut, dan tak lama kudengar desahan-desahan indah dari kedua gadis sebelah kamar hotel kami. Akhirnya, gadis pertama menjeritkan puncak kenikmatannya, diikuti segera dengan jeritan orgasme temannya. Aku tersenyum sendiri, dan sebelum kami berdua jatuh tertidur, kubalas merangkum kewanitaan Felicia dengan telapak tanganku, menyongsong alam impian.
Sejak saat itu aku benar-benar intim dengan Felicia. Kami berbagi banyak pengalaman yang menarik. Berbagi tawa, dan berbagi tangis. Kenakalan dan petualangan sepertinya memang jalan hidup sahabatku yang satu ini. Seperti kebanyakan orang Latin lainnya, Felicia benar-benar temperamental dan berdarah panas. Pembawaanku sendiri cenderung sabar dan penuh pertimbangan, namun perbedaan ini justru makin membuat kami lebih lengket. Beragam sudah permainan cinta yang kami alami bersama, namun sebelum pembaca semua berkesimpulan bahwa sekarang aku adalah lesbian kelas kakap, kuberikan jaminan, bahwa akupun menikmati seks dengan lawan jenis. Malah beberapa waktu yang lalu aku dan Felicia berhasil merayu seorang lelaki muda, orang Indonesia juga, kami rayu ke tempat tidur.
TAMAT
Baru-baru ini kelompok drama sekolahku mengadakan kunjungan wisata ke ibukota di Washington DC. Seorang gadis baru bernama Felicia baru saja mengikuti kegiatan ini. Aku sebenarnya sudah beberapa kali melihat Felicia di sekitar sekolah dan sudah lama merasa cukup iri dengan kakinya yang panjang serta matanya yang tajam dan seolah selalu penuh gairah. Felicia adalah seorang Latina, sebab kedua orangtuanya berasal dari Puerto Rico. Saat pertama kali kulihat Felicia di sekolah, aku jadi teringat dengan acara-acara TV minggu siang yang sering disaksikan oleh pembantu dan supir di tempat kostku dulu di Bandung seperti Maria Mercedes dan sebangsanya. Nah, saat perjalanan wisata ke Washington di atas bis dan kebetulan duduk sebangku, kami berdua segera menjalin persahabatan baru. Bercakap-cakap dengan Felicia benar-benar menarik sebab dia benar-benar supel dan pintar berbicara. Di tengah diskusi mengenai simpatinya terhadap kondisi Indonesia, kusempatkan diriku untuk mengamati rupa teman baruku.
Sepertiku, Felicia berbadan semampai. Rambut lurus dan alisnya berwarna coklat muda, rambutnya sedikit lebih panjang dan kulit Felicia jauh lebih pucat dari kulitku yang kuning. Bibirnya yang berbentuk mungil berwarna merah muda dengan hanya polesan sedikit lipstik saja dan bergerak-gerak secara menawan saat Felicia berbicara dengan logat latinnya yang enak didengar. Seperti murid-murid keturunan Spanyol lainnya di sekolahku, gaya berpakaian Felicia benar-benar santai, seperti celana pendek, dan kaos oblong tangan panjang, namun potongan depannya pendek yang berakhir di atas bagian pusar, sehingga dadanya yang membusung membuatnya tampil benar-benar feminin dan eksotik. Kaus kaki Miki Tikus warna putih menutupi sebagian betis Felicia, sepatunya model santai seperti Converse, dan Felicia mengenakan seuntai kalung perak sebagai aksesoris sementara telinganya ditindik tiga dengan giwang-giwang kecil diatur artistik. Namun yang bikin aku benar-benar seperti terhipnotis adalah tatapan mata biru jernih Felicia yang menyorot tajam, mengundang, dan benar-benar hidup. Jika ada yang mengamati, mungkin kami berdua akan tampak cukup menarik sebab aku sendiri menjaga penampilanku cukup konservatif walaupun di Indonesia mungkin lumrah saja melihat gadis remaja delapan belas tahun mengenakan turtle neck, rompi dan rok selutut dan rambut kuncir kuda. Tak lama setelah kami mulai berbicara, hilanglah sudah minatku terhadap kunjungan wisata ini.
Sementara waktu berlalu, kami mulai saling menyentuh tangan atau kaki satu dengan lainnya saat ingin menekankan apa yang kami bicarakan. Sentuhan-sentuhan yang mulanya tanpa niat apapun ini lama-lama mulai menelantarkan diri, sampai akhirnya, kami mulai berbicara mengenai seks. Kami saling bertukar pengalaman, dan aku benar-benar terpesona oleh perbedaan kebudayaan dan latar belakang kami berdua. Kata Felicia, dalam masyarakan Hispanik (ras keturunan campuran Spanyol dengan penduduk asli Amerika) sudahlah menjadi standar bagi remaja mereka untuk kehilangan keperawanan atau keperjakaan pada umur sekitar 15 tahun. Setahun di Amerika, banyak pandangan mengenai seks dan hubungan romantis yang dulu kupunyai di Indonesia berubah menjadi sedikit lebih santai. Walaupun aku masih belum sampai sejauh bersanggama, pacarku di sini kadang-kadang menelusuri bagian-bagian tubuhku yang tadinya kuputuskan ‘off-limit’ bagi pacar. Biar bagaimanapun, toh aku masih orang Timur. Di kota seperti New York, walaupun kebudayaan Barat lebih toleran terhadap hubungan kelamin pranikah, toh umumnya remaja hanya berhubungan dengan satu pasangan saja sekitar paling tidak enam bulan, mungkin karena kewaspadaan terhadap penyakit.
Mendengar penjelasanku mengenai norma masyarakat di Indonesia, Felicia mengangguk-angguk, dan menyatakan bahwa pandangan seperti itu ada baiknya juga. Diapun kemudian mulai bercerita mengenai pengalaman-pengalaman masa lalunya, sentuhan-sentuhan nyasar kami makin sering. Kami mulai saling menggoda secara fisik, dan sebelum bis kami bergulir memasuki batas kota Washington DC setelah hampir seharian perjalanan, hanya ada satu hal dalam benakku: untuk berhubungan intim dengan Felicia.
Saat memasuki hotel, kami mengatur untuk membagi ruangan yang sama. Senja itu, kami berkeliling dan melihat tempat-tempat bersejarah terkenal. Selesai mandi dan makan malam, bersama sekelompok dari murid-murid aku dan Felicia pergi menyaksikan sebuah filem berjudul “Scream”. Ketika di layar ditunjukkan sebuah bagian filem yang menakutkan, kami berdua saling berpegangan tangan dan Felicia memelukku erat. Selesai bagian tersebut, Felicia meletakkan tanganku ke pahanya yang tak tertutup. Kami berdua kebetulan memakai rok pendek, dan beberapa menit kemudan Felicia mencoba merubah sikap duduk dan merenggangkan kakinya, serta membimbing tanganku di antara kedua kakinya. Lalu ia bergerak dan secara perlahan mengusapkan tangannya ke bagian dalam pahaku. Kulepaskan pekikan kecil ketika Felicia menemukan apa yang diinginkannya.
Sementara kami berpura-pura menonton filem, kumain-mainkan rabaanku di celana dalam bagian depan milik Felicia sampai kubuat dia basah sementara ujung jarinya bergeser naik dan turun di bagian yang sama dari celana dalam milikku, mendorong kain yang tipis itu ke dalamku. Tidak mengambil waktu lama sebelum kami berdua mulai saling menjari satu sama lain. Kami mulai bernapas kencang dan berat, dan tak bisa disangkal lagi, di udara mulailah muncul bau kewanitaan basah yang cukup jelas tercium. Salah seorang gadis sesekolahku duduk di deretan belakang kami. Ia menggeser diri diantara bahu kami dan berbisik, “Kalian berdua merpati cinta sebaiknya mulai berhenti sebelum semua orang mulai menonton kamu dan bukan filem ini!” Gadis itu betul, kami benar-benar mulai terbawa situasi. Secara ogah-ogahan kamipun berhenti. Pada menit yang sama Felicia menarik jarinya keluar dariku, kusadari bahwa aku benar-benar menginginkannya kembali di dalamku. Setelah mengatur napas, Felicia mendekatiku dan berbisik, “Nanti.”
“Aku tak sabar menunggu,” bisikku balik sedangkan hidungku menghirup aroma intim Felicia yang membalut jariku. Kujilat bersih jariku dan kugenggam tangan Felicia sampai pertunjukan berakhir. Pada saat itu aku sudah benar-benar menjadi terangsang, sisa filem yang kami tonton itu tidak ada yang kuingat barang sedikit pun. Kembali ke hotel, kami praktis berlari ke kamar kami, benar-benar tak sabar untuk melanjutkan perbuatan yang terpaksa kami tinggalkan.
Bergegas-gegas aku berganti mengenakan kimono katun tidurku yang berwarna gelap dengan corak tradisional Flores sementara Felicia menanggalkan kaos oblong dan rok pendeknya. Baru kusadari bahwa selama ini Felicia tidak mengenakan bra. Sementara aku bengong menatapi dada Felicia yang betul-betul mulus dan berbentuk sempurna, Felicia memuji keindahan corak kimono katunku dan memintaku untuk membawa oleh-oleh seperti itu jika aku kembali dari Indonesia. Kutunjukkan sebuah cincin yang kubeli dari toko suvenir Indonesia di dekat kedutaan sore hari itu pada Felicia. Direbutnya cincin itu dan dia berkata, “Hahah … dapat!” “Hey, kembalikan!” Kukejar Felicia mengitari ruangan sampai akhirnya kutangkap dia di pojokan. Tiba-tiba dibalikkan badannya dan di mukanya muncul raut nakal sementara tangannya bertolak pinggang. “Mana cincinnya?” tanyaku. “Entah. Coba saja periksa sendiri,” kata Felicia sambil menunjukkan kedua telapak tangannya yang kosong sambil tertawa-tawa kecil.
Karena Felicia saat itu bertelanjang kecuali untuk celana dalam model bikininya, hanya ada satu tempat untuk mencari. “Kamu ini benar-benar nakal,” seruku sambil menatap matanya yang bersinar-sinar bandel, benar-benar menikmati permainan kecil kami.
Pandanganku menyapu wajahnya yang karena berkeringat dan merona merah terlihat benar-benar spektakuler, dengan ujung hidungnya yang runcing dan lesung pipitnya yang molek. Lalu kuturunkan pandangan melewati lehernya yang jenjang, dan dadanya yang naik turun. Sedikit gerah setelah berlarian dalam kamar hotel yang bertemperatur sejuk itu membuat puting Felicia yang berwarna merah muda segar menegak penuh. Kutatap kembali wajahnya sementara kutautkan jariku ke bagian atas celana dalamnya, menarik tali elastis di situ sampai nampak rambut-rambut lembut lurus kecoklatan berjarang-jarang di bawah pusar Felicia. “Di bawah situ, mungkin?” tanyaku.
“Silakan mancing ikan.” Felicia melangkah mendekati, cukup dekat untuk membuat dada kami bergesekan. Perlahan kugerakkan tanganku lebih jauh ke bagian bawah dari perut Felicia yang betul-betul rata dengan sedikit lengkungan feminin dan menyelipkannya ke balik celana dalam Felicia. Ujung-ujung jariku menyentuh rambut-rambut lembutnya dan gelitikan lembutku membuat postur berdirinya lemas, menengadah dan mendesah. “Apakah ini cukup hangat?” tanyaku.
“Betul-betul.” Dipejamkannya kedua mata dan kepalanya semakin menengadah saat jari-jariku bergeser lebih jauh ke bawah sampai seluruh permukaan kelamin Felicia terlindung oleh telapak tanganku. Ia masih cukup lembab hasil dari perbuatan kami di sinema. Cincinku yang hilang tentu saja tersembunyi di celana dalamnya, namun aku tetap berpura-pura mencari-cari benda tersebut. “Di mana, sih cincin ini?” Kunikmati reaksinya terhadap sentuhanku, kudorong selangkangannya ke dalam telapak tanganku. “Sepertinya perlu diselidiki lebih dalam, nih …” godaku.
“Lebih dalam lebih baik,” Felicia menyahut sambil mengerang.
Kubiarkan jemariku menerobos lipatan-lipatan lembutnya dan segera kurasakan sumber kebasahannya. “Mungkin bersembunyi di sini,” lanjut godaanku. Kedua dada kami saling menekan dan mulut kami hanya terpisah jarak seinci. Benar-benar kuingin menciumnya, dan kurasakan badanku bergetar, tak pernah dalam hidupku aku sedekat ini dengan seorang gadis lain. Tapi kuputuskan untuk memperlambat permainan kecil ini, jadi kutarik keluar cincin itu dan kutunjukkan kepadanya. “Ketemu.”
“Itu sih terlalu mudah,” kata Felicia. “Perlu cari tempat persembunyian yang lebih bagus, nih.”
“Contohnya dimana?” kataku sambil menyengir lebar.
“Kira-kira berapa panjang lidahmu?” tanyanya.
Kuleletkan lidahku. “Kira-kira sejauh itu dalam memek saya,” katanya dan kami kedua tertawa keras.
“Felicia, kamu ini benar-benar mesum. Kamu bakal menjadikan kita berdua sepasang lesbian lipstik!”
Secara lembut diremasnya bagian dada kimonoku, dan dibisikkannya, “Oh, kau pikir itu benar-benar hal yang jelek? Akui saja, Lisa, kau sebetulnya benar-benar ingin mencoba, kan?” Bisa kurasakan kehangatan nafasnya menghembus wajahku saat kami berdua saling bertukar pandang. “Well ….” ujarku malu-malu, bermain ‘susah dijerat’. “Sepertinya sih udah pernah kupikir hubungan lesbian mungkin satu …. atau dua kali.” “Biar bagaimanapun,” kata Felicia, “Semua orang tahu bahwa adalah wajar bagi cewek-cewek untuk bereksperimen satu sama lain. Di samping itu, hampir semua cewek yang saya kenal melakukannya setiap waktu. Tahu tidak?” ujarnya sambil mempelajari rautku. “Apa?” kataku. “Kau benar-benar cantik. Unik. Kau punya mata yang hitam benar-benar menarik. Apalagi kau datang dari tradisi yang cukup kekolotan. Bikin kau lebih mengundang. Mmmmm … apakah rata-rata cewek Indonesia tetenya langsing seperti ini?”
“Uh, iya,” kataku, tak sadar kulonggarkan tali pinggang kimonoku, mengakibatkan terbukanya bagian dadaku.
Perlahan Felicia memijit kedua puting payudaraku, dan kurasakan memanasnya bagian di antara kedua pahaku. “Toh lagipula kita berdua perempuan, jadi nggak mungkin hamil. Sama seperti kegiatan menggesek memek sendiri…” lanjut Felicia. Felicia memperkeras pijitannya, dan napasku mengencang, kuhirup udara dengan tersendat-sendat, sementara untuk berdiri tegak aku mulai tak mampu. “Oh, kalau masturbasi, sih, aku benar-benar suka,” kataku. “Bagus, sebab dengan cewek lain, masturbasi jadi jauuuuh lebih menarik dibanding sendirian.” Disambarnya ikat pinggang kimonoku yang sudah memang longgar, menjadikan seluruh tubuhku terekspos. Dengan penuh gairah dirangkulnya pinggangku sementara kakiku menggeser, menyentuh langsung selangkangan Felicia yang lembab.
Tangan Felicia mulai melingkar, menjelajahi bagian belakangku. Diiringi senyum nakalnya, Felicia menarik bagian belakang celana dalamku, membuat bagian selangkangan celana dalamku menjadi tertarik lebih ke dalam. Tekanan yang dirasakan oleh klitorisku yang mulai membengkak hampir membuatku orgasme di tempat sementara kurasakan kedua badan kami seolah meleleh, bercampur satu sama lain. Tak lama kemudian Felicia memasukkan lidahnya ke dalam mulutku, dan kulumat dengan erat lidah kekasihku yang baru ini. “Masih ingin main sembunyi cincin?” tanya Felicia menggoda. “Fuck the ring,” (Persetan dengan cincin itu!) semburku sementara tanganku kembali menyelinap ke dalam celana dalamnya. “I’d rather you fuck me instead,” sahut Felicia, suaranya menyerak seksi, nafasnya panas di telingaku.
“Lalu tunggu apa lagi?” kataku sembari meraih tangannya. Kami pindah ke sebelah ranjang dan menanggalkan apa yang tersisa di badan kami (kecuali celana dalamku). Felicia benar benar terangsang, cairan-cairan kelembaban mulai menetes dan bergulir di pahanya. Seluruh tubuhku mulai bergetar penuh antisipasi, terlebih saat kubayangkan betapa lezatnya jika kuletakkan kepalaku di antara kedua pahanya. Felicia naik ke atas ranjang dan menyandarkan diri ke dinding. Lalu dengan kedua jarinya dipisahkannya kedua bibir vaginanya, dan dengan penuh nafsu kusaksikan jarinya yang lain menerobos masuk. Setelah mengaduk-ngaduk beberapa saat jari lentiknya benar-benar basah, dan Felicia mengeluarkan jarinya, mengacungkannya di depan mukaku, membuat isyarat ‘mendekatlah’. “Ayo, kita bersenang-senang malam ini,” undang Felicia seraya mengangkat kaki kirinya ke dekat wajahku dan memain-mainkan jemari kakinya yang mungil.. Ketika kutanggalkan celana dalamku, kusadari bahwa bagian selangkangan celana dalamku ternyata sudah kuyup. Tadinya hendak kulempar begitu saja celana dalamku itu, namun Felicia berseru, “Tunggu, Lisa, ke sinikan kau punya celana dalam itu!” Kulemparkan celana dalamku, dan segera setelah menyambutnya Felicia mendekatkan celana dalam itu ke hidung mancungnya sembari menghirup dalam-dalam aroma sekresi kewanitaanku. “Ooooh, bau kamu betul-betul sedap!”
“Memangnya sudah kebiasaanmu, yah, menciumi celana dalam milik cewek lain?”, tanyaku seraya tersenyum lebar. “Oh, cuma mereka-mereka yang bakal saya entot,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata. Felicia mengusap-usapkan bagian selangkangan celana dalamku yang basah kuyup ke hidung dan mulutnya sementara matanya mengawasiku, yang mulai mengecupi jari-jari kakinya. Kususupkan lidahku di antara setiap jari, kukulum, dan Felicia mulai tertawa-tawa geli campur nafsu. Lalu mulailah kutelusuri kakinya yang panjang dengan bibirku, dan berhenti ketika aku sampai di bagian dalam pahanya. Kujilat, kukecup, dan kugigit lembut kulitnya yang putih mulus. Oh, Tuhan, Felicia betul lembut! Kuciumkan kecupan-kecupan kecil mengitari kelaminnya, dan dengan susah payah kutekan keinginanku untuk langsung menyelami kelamin Felicia dengan mulutku. Dalam pikiranku, sejak Felicia adalah perempuan pertama dalam hidupku yang kujilat kemaluannya, maka ada baiknya kupastikan bahwa kami berdua benar-benar terangsang dulu sebelum kukubur mukaku di selangkangannya. Aku bergerak mendekati mulutnya. “Aku benar-benar butuh kamu,” kataku. Felicia melingkarkan tangannya dan kamipun French kissed.
Lalu Felicia perlahan mengangkatku, memposisikan kedua susuku di depan wajahnya. Dikulumnya salah satu puting susuku di antara kedua bibirnya dan mulutnya yang hangat menyedoti putingku, mengirimkan gelombang-gelombang kenikmatan ke seluruh tubuhku. “Saya punya ide,” katanya sambil terus menjilati. “Bagaimana kalau kita bolos saja dan tidak usah ikut tur besok? Kita bisa mengunci diri di kamar ini dan berasyik-asyikan seharian penuh.” Untuk membujukku, Felicia menyelipkan tangannya di antara pahaku dan mulai mengusap-usap celahku. Kusongsongkan pinggulku menyambut dua jari Felicia ke dalamku. Ia melanjutkan menghisap payudaraku sekaligus jarinya menjalari vulvaku, sedangkan aku hanya mendesah-desah mendorong-dorongkan kemaluanku menyongsong tangannya. Kupejamkan mata dan kurasakan cairan kental kewanitaanku menyemprot keluar saat ujung-ujung jari Felicia menjepit klitorisku. Orgasme yang kurasakan betul-betul intens, sumpah mati saat itu aku menyaksikan bintang-bintang.
“Kalau kita tinggal di ranjang sepanjang hari,” ujarku setelah pada akhirnya berhasil mengatur napas kembali, “Kapan kita makan?” “Kalau kamu lapar,” jawab Felicia, “Kamu bisa lahap memek saya saja.” “Ah, kamu ini memang benar-benar nakal!” seruku dan kami berduapun tertawa-tawa. Kemudian akupun kembali menciumi tubuhnya, menelusur kembali ke bagian bawah. Harum keringatnya membalut badannya, dan aku benar-benar menikmati rasa keasin-asinan leher dan celah dadanya. Puting payudaranya yang merah segar berbeda dengan milikku yang berwarna coklat, dan saat kusedot kedua pentilnya, warna mereka berubah menjadi gelap dan mengeras. Puting dada Felicia terlihat persis dengan karet penghapus merah di ujung sebuah pensil, dan tampak kecil dibanding ukuran dadanya yang paling tidak 36 C. Pentilku sendiri kira-kira sebesar uang 25 logam, dan menurutku pas untuk ukuran 32B-ku. Kurasakan kedua ujung dadaku mulai menegak karena bersentuhan dengan perut lembut temanku ini. Felicia merangkapkan kakinya mengitari pinggangku, dan menyodor-nyodorkan selangkangannya, klitorisnya berusaha mendapatkan sebanyak mungkin gesekan.
“Oh, Tuhan. Lisa, kamu betul-betul membuat saya senewen,” kata Felicia terengah-engah. Felicia mencoba menurunkan tangannya untuk mengelus-elus kelentitnya sendiri, tapi segera kucegah. “Sabar,” kataku, “Yang satu itu akan kutangani sebentar lagi.” “Saya benar-benar perlu kau ewe sekarang,” mohonnya. “Jangan terlalu terburu-buru,” balasku seraya menyembulkan lidahku ke dalam pusar Felicia, dan meninggalkan kecupan kecupan basah menuruni perutnya. Felicia mengangkat pantatnya mencoba membimbing mulutku ke arah gerbang keperempuanannya. “Kunyah saya, … please!” jeritnya tak sabar. Kurebahkan diri di antara kedua paha Felicia, kugunakan tanganku untuk membuka lebar labianya.
Kugunakan hidungku untuk membelah lipatan kelaminnya dan menghirup dalam-dalam. Keharuman kelamin Felicia menyengat inderaku. Aromanya jauh lebih terasa dibandingkan dengan bau cairanku sendiri. Bibir dalam dari kemaluan Felicia yang berwarna merah muda menyelinap keluar, dan sekresi kewanitaannya menjadikan bibir tersebut benar-benar kontras dengan bibir luar kemaluannya yang berwarna merah gelap. Lalu perlahan kutarik kulit pelindung kelentitnya, menjadikan klitorisnya yang bengkak mencuat keluar, dan kucolek dengan menggunakan jari telunjuk. “Kau ini benar-benar centil tukang goda. Saya benci, deh,” rintih Felicia.
“Pembohong,” sahutku. Kelentitnya betul-betul keras dan tegang, dan berdetak kencang saat kusentuh. Kutiup tonjolan ini, dan pinggul Felicia terangkat, menyambut mulutku. Ia benar-benar basah, dan kuusapkan seluruh wajahku di sekujur kelaminnya. Pipi, hidung dan mulutku berlumuran cairan hangatnya. “Lisa, please,” minta Felicia, jemari tangannya menelusuri rambut kepalaku, “Memek saya butuh sekali ….” Akhirnya, kuputuskan untuk memenuhi. Menarik napas panjang, kupejamkan kedua mataku. Lidahku menelusur sepanjang garis celah kelamin Felicia. Bibir-bibir lembut Felicia membuka dan kukecap tempat paling rahasia di dunia, surga kecil di belahan paha seorang gadis. Kucicipi sari vagina Felicia, dan rasanya ternyata lebih manis lagi daripada aromanya. Kurenggangkan pahanya lebar-lebar dan kucelupkan lidahku ke dalam lubang kecil merah muda yang hangat dan lembab milik temanku.
Dinding-dinding manis kemaluannya bergerak-gerak membuka dan menutup, menjerat lidahku erat-erat. Aku menyedot dan menjilat bagaikan hidup matiku bergantung kepada memberikan Felicia orgasme terhebat yang pernah dia alami. Mengunyah kelamin Felicia adalah mungkin hal paling erotis yang pernah kualami. Aromanya memenuhiku dengan gairah saat kujilat, kusedot, dan kutelan air keluarannya. Aku benar-benar tersapu oleh kenikmatan terlarang dari berhubungan intim dengan seorang gadis dan saat itu kuputuskan bahwa seks dengan lelaki jatuh ke nomor tiga dalam urutan orgasmeku, setelah memakan vagina dan masturbasi.
Felicia sudah hampir sampai di puncak ketika kuperintahkan, “Berbaliklah, aku ingin jilat pantatmu.” Felicia segera menurut dan tak lama kemudan aku menyaksikan kelaminnya yang indah dari belakang, seluruh bagian kemaluannya merebak, dan sari-sarinya menetes berjatuhan. Seperti seekor anjing, kuendus-endus Felicia dari belakang. Kukecup gundukan-gundukan padat milik temanku, lalu kulebarkan keduanya, dan kujilat pertengahannya dari atas ke bawah. Campuran dari keringatnya yang keasinan, sirup vaginanya yang manis, dan rasa keasaman dari anusnya adalah rangsangan yang tak ada duanya. Kuselipkan kembali lidahku kedalam kemaluannya, dan kumasukkan ujung hidungku ke celah pantatnya yang terlihat berkerut.
Menjilat habis Felicia memberikanku dorongan yang kuat, namun juga terasa sungguh lembut dan manis, sungguh feminin. Susah kubayangkan sesuatu yang lebih indah dari dua wanita saling bercinta. Saat itu kutemukan rahasia cinta-wanita dan akupun ketagihan, rasanya ingin merangkak ke dalam celah milik kawanku ini dan tinggal disitu selamanya. Sementara kulumat dengan ganasnya, kumasukkan jari tengahku kedalam vaginaku sendiri. Lalu dengan mulut penuh menampung air liurku dan cairan sekresinya kubasahi anus Felicia. Perlahan jari tengahku yang basah terbalut pelumasku sendiri kudorong melalui kerutan lubang pantatnya yang mungil. Felicia terasa benar-benar hangat dan lembut di dalam dan aku bisa merasakan otot-ototnya berkontraksi untuk menahan jariku di situ. Kudengar partnerku mengerang-erang dalam bahasa Spanyol yang walaupun tak kumengerti namun ekspresi universal seorang gadis diambang orgasme bisa kupahami.
Felicia menutupi mukanya dengan sebuah bantal dan tak bisa berhenti merintihkan jeritan-jeritan kenikmatan. “Aaaaaah, Dios Mio!” serunya ketika jari-jariku yang lain bergulir di klitorisnya. Dielus, dijepit, dan diperah seperti itu membuat kelentit Felicia menjadi betul betul sensitif. Mengetahui bahwa kami berdua benar-benar dekat dengan puncak, Felicia dengan cepat melempar bantal yang menutupi mukanya, dan mengerang, “… seb… sebentar.” Kuhentikan gerakanku dan didorongnya tubuhku, menjadikanku terlentang di ranjang dengan kedua kakiku terkangkang lebar. Dengan gerakan cepat tangan kiri Felicia meraih pergelangan kaki kiriku dan mengangkat, meletakkan kakiku di pundaknya sementara dengan tangan kanannya mendorong lutut kananku, melebarkan labiaku.
Memposisikan bagian bawah dari tubuh langsingnya di antara kedua pahaku, Felicia berkata, “Itilku dan itilmu.” Dengan dua jari kutarik ke atas kulit depan klitorisku sementara Felicia melakukan hal yang sama dengan klitorisnya sendiri, lalu Feliciapun bergeser sehingga kedua kemaluan kami bertemu. Perasaanku saat itu tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Melalui kerimbunan hitam rambut kelaminku kulihat coklat lembut rambut kelamin Felicia sementara dadanya yang putih mulus dan memerah karena gairah terlihat kontras bergesekan dengan betisku yang kuning langsat. Kedua vagina kami, dengan labia yang basah saling menghempas, saling menjalin, dan saling melelehi menjadi satu. Felicia bergerak memutar-mutar selangkangannya dan kedua kelentit kami yang mencuatpun saling bergesekan.
“Aaaah, ahhh, y.. ess .. yess…” Kupejamkan mata dan perlahan kuremas-remas dadaku dengan tanganku yang bebas. “Ooooh, ngh … aaakh….” Kurasakan cengkeraman tangan Felicia meninggalkan pergelangan kakiku saat ia menengadah dan tubuhnya mulai terkejang-kejang. Kurasakan bagian bawah tubuhku bergerak-gerak seperti kehilangan kontrol, maju mundur naik turun bagaikan piston. “Oooooooh …. ye .. eee … eeeesssssh …!” seru kami bersamaan saat kedua kelentit kami saling bergesekan dengan kencangnya. Tubuhku bergelinjang hebat, Felicia mengejang dan terasa waktupun menghilang saat secara bersamaan vagina kami menyemburkan cairan kental orgasme.
Sekali, dua kali, dan tiga kali gelombang orgasme menghempas Felicia, dan bahkan saat terbaring lunglai di sisikupun tubuh seksinya masih bergemetar. Kulingkarkan lenganku di bahunya, dan kurangkul kekasih baruku erat-erat. Kukecup pipinya lembut. Felicia membuka matanya, menyambar bibirku dan melumat mulutku. “Idih, kau berasa seperti memek,” katanya. “Ayo kita melarikan diri saja, dan bercinta selamanya,” kusuarakan angan-angan di benakku. “Kedengarannya enak,” balas Felicia. Kami kembali berciuman dan kurasakan tangan Felicia kembali meraba-raba rimbunan hitamku yang sekarang benar-benar basah kuyup tersiram sekresi kami berdua.
Kubiarkan diriku pasif terbaring di pelukan Felicia cukup lama sementara dia bermain dengan bagian bawahku; belaian-belaiannya lembut seolah ia menghapal seluruh tonjolan dan lipatan-lipatan vaginaku. Lalu Felicia menelentangkan diri. “Ayo kita ngentot lagi,” katanya sembari menggoyang-goyangkan tubuh mengatur posisi. “Ayo duduk di muka saya,” perintahnya. Akupun berlutut, menunggangi kepalanya, dan mulai menurunkan kemaluanku ke wajah cantik Felicia. Felicia memiliki lidah yang betul-betul panjang dan akupun mulah mendesah dan mengerang ketika ia melesakkan lidahnya ke dalamku senti demi senti. Urat-urat dalam vaginaku otomatis mencengkram erat lidah Felicia sementara pinggulku bergerak melingkar dengan perlahan, benar-benar larut dalam ulasan lidah Felicia. Mulutku terasa kering dan akupun merasa betul-betul perlu melahap vaginanya lagi.
Kuputar posisiku, kurendahkan kepalaku dan kami bercinta dalam posisi enam sembilan. Kembali kulimpahkan segala perhatianku ke kelamin partnerku, menyibakkan labianya yang hangat, dan ketika kukecap pelumas Felicia yang mulai mengucur kembali, kurasakan jarinya yang giliran menjelajahi pantatku. Napasku kembali terengah-engah sementara lidah Felicia membelai-belai jauh ke dalam rahimku dan jarinya menjelajahi bagian belakangku. “Uuuuuuuuh ….. uuungh … unghhh …” seruku tertahan-tahan sebab mulut dan hidungku terselimut keperempuanan Felicia sementara diapun mengeluarkan suara-suara yang serupa. “Ah! Aah! Aaaah! Lagi …” Otot-otot vaginaku menggeletar saat Felicia menggigit lembut klitorisku. “Auh!” “Yaaa..h!” Kurasakan geliginya mengitari kacangku. “Oooooh… yeessh .. sssh…” Kulingkari kelentitnya dengan bibirku dan kusedot keras-keras. “Yes… yes… yeee … eee .. sh!” “YEEEESSSSH ….MMMMMH… MFFFFFH ….” Ujung lidah kami berdua mengulas-ulas kedua kelentit dengan gerakan sangat cepat, kurasakan seluruh urat kedua vagina kami mengencang dan mengendur di luar kontrol dan kami pun kembali tenggelam, orgasme membanjir keluar.
Setelah kembali mengatur napas, kulepaskan diriku dan kuhempaskan diriku di samping Felicia supaya kami bisa saling bertatapan wajah. Dengan lengan dan kaki kami saling merangkum, kami bersentuhan berciuman lembut, betul-betul kehabisan tenaga dan kecapaian. “Mudah-mudahan besok saya bangun sebelum kau bangun,” katanya setengah bermimpi. “Memangnya ada apa?” seraya menyibakkan rambutnya ke samping, mengecupi pipi, hidung, dan kelopak matanya yang terpejam. “Sebab, hal pertama yang saya ingin kamu lihat besok pagi adalah wajah saya tersenyum di antara kedua pahamu,” jelasnya. “Oh, Tuhan, rasanya sekarang ini saya sudah jatuh cinta,” kataku lembut. “Sini, saya jaga biar tetap hangat,” katanya sambil merangkum kemaluanku ke dalam telapak tangannya yang memang hangat. Kukecup kembali bibirnya, dan sementara kami berdua berpelukan erat, kunikmati kehangatan lembab semak-semaknya yang bersandar ke pahaku. Setelah selama beberapa lama hanya desiran mesin pendingin udara yang terdengar, melalui dinding terdengar suara-suara dua orang gadis dari kamar sebelah. Tak mungkin tidak, mereka sedang bercinta.
“Kan, sudah saya bilang. Semua cewek berbuat hal yang sama,” kata Felicia sambil tersenyum lebar. “Mungkin besok kita perlu mengunjungi tetangga sebelah dan mengundang mereka untuk mampir,” sahutku setengah tertidur. “Tapi itu artinya saya harus membagi kau dengan mereka,” kata Felicia. “Betul,” gumamku setengah bermimpi, “Tapi ingatlah bahwa itu juga artinya kamu bakal punya tiga buah memek yang lembek dan basah untuk dilahap ditambah tiga mulut hangat untuk melayanimu.” “Mmmm,” katanya sembari membasahi bibir, “Betul juga. Mari kita beramah-tamah dengan mereka besok.” Kami kembali berciuman lembut, dan tak lama kudengar desahan-desahan indah dari kedua gadis sebelah kamar hotel kami. Akhirnya, gadis pertama menjeritkan puncak kenikmatannya, diikuti segera dengan jeritan orgasme temannya. Aku tersenyum sendiri, dan sebelum kami berdua jatuh tertidur, kubalas merangkum kewanitaan Felicia dengan telapak tanganku, menyongsong alam impian.
Sejak saat itu aku benar-benar intim dengan Felicia. Kami berbagi banyak pengalaman yang menarik. Berbagi tawa, dan berbagi tangis. Kenakalan dan petualangan sepertinya memang jalan hidup sahabatku yang satu ini. Seperti kebanyakan orang Latin lainnya, Felicia benar-benar temperamental dan berdarah panas. Pembawaanku sendiri cenderung sabar dan penuh pertimbangan, namun perbedaan ini justru makin membuat kami lebih lengket. Beragam sudah permainan cinta yang kami alami bersama, namun sebelum pembaca semua berkesimpulan bahwa sekarang aku adalah lesbian kelas kakap, kuberikan jaminan, bahwa akupun menikmati seks dengan lawan jenis. Malah beberapa waktu yang lalu aku dan Felicia berhasil merayu seorang lelaki muda, orang Indonesia juga, kami rayu ke tempat tidur.
TAMAT